Baru-baru ini, masyarakat Indonesia dihebohkan dengan berita tentang Big Data. Menurut berita Kompas.com, klaim Big Data soal penundaan pemilu 2024 awalnya dikemukakan oleh Muhaimin Iskandar atau Cak Imin selaku ketua umum PKB dan Menteri perekonomian dan investasi yaitu Luhut Binsar Pandjaitan atau LBP. Luhut menyatakan bahwa Big Data itu berisi 110 juta suara rakyat Indonesia yang mendukung penundaan pemilu 2024. Sedangkan Cak Imin menyatakan bahwa ada 100 juta akun, 60% di antaranya mendukung penundaan pemilu dan 40% menolak (Kompas.com, 2022).
Menariknya, klaim Big Data itu disertai dengan argumennya masing-masing. Cak Imin menyampaikan bahwa Big Data sudah mulai dijadikan sebagai referensi kebijakan dalam pengambilan keputusan dan pengambilan sikap sudah bergeser survei ke Big Data. Big data diyakini lebih baik dibandingkan dengan hasil survei. Pada umumnya lembaga survei hanya memotret suara responden pada kisaran 1.200-1.500 orang. Sementara itu, Big Data bisa mencapai 100 juta orang. LBP juga kembali menegaskan “Big Data itu benar ada” pada tanggal 15 Maret 2022 di Hotel Grand Hyatt, Jakarta. LBP menyatakan ada aspirasi masyarakat tentang penundaan pemilu 2024 bahwa kenapa harus menghabiskan dana yang begitu besar padahal pandemi COVID-19 belum selesai (Kompas.com, 2022).
Klaim Big Data telah menimbulkan berbagai reaksi dari masyarakat, khususnya para politikus dan sejumlah mahasiswa. Indonesian Corruption Watch (ICW) menuntut agar Big data dibuka sebagai bagian dari pertanggung jawaban kepada publik. Mahasiswa dari aliansi BEM-SI melakukan demonstrasi atas penolakan penundaan pemilu 2024 membuat isu Big Data semakin meluas. Pada tanggal 12 April 2022, ketika Luhut mengunjungi Universitas Indonesia sebagai narasumber pada kuliah umum, kehadirannya membuat pengurus BEM se-UI melakukan demo dalam rangka mendesak LBP untuk membuka Big Data mengenai penundaan pemilu 2024. Namun, Luhut tidak menyetujui permintaan mereka dengan alasan beliau juga memiliki hak untuk tidak membuka data kepada mereka. Tekanan pun datang dari politisi PDIP Masinton yang mendesak agar Luhut mundur dari jabatan atas kegaduhan klaim Big Data. Selain itu, ketua DPD RI La Nyalla menyebut Big Data Luhut Binsar Pandjaitan “Bohong Belaka” (Kompas.com, 2022).
Berdasarkan penjelasan diatas, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan yaitu: Pertama, Jumlah 110 juta suara rakyat yang mendukung penundaan pemilu 2024 nyatanya masih ada pro dan kontra di tengah masyarakat, sebagian besar anggota DPR, DPD, dan MPR menolak adanya penundaan pemilu 2024 dan penolakan perpanjangan jabatan presiden sudah ditegaskan berulang kali oleh Presiden Joko Widodo. Oleh karena itu, bisa dikatakan bahwa data 110 orang itu belum jelas karena LBP juga tidak memberikan penjelasan mengenai bagaimana klasifikasi data apabila analisis sudah dilakukan. Selaku Menko Marves, seharusnya beliau sudah memahami bahwa ketika informasi diumumkan kepada publik akan memicu reaksi yang berlebihan dari banyak pihak, apalagi hal ini sangat berkaitan dengan politik. Sehingga, informasi yang disampaikan ke publik harus jelas dan dapat dipertanggung jawabkan.
Kedua, Di aspek manfaat Big Data dan kegunaannya mungkin bisa dibenarkan karena Big Data bisa dijadikan sebagai referensi kebijakan dalam pengambilan keputusan oleh pemerintah. Kita tahu bahwa LBP dikenal dengan “menteri segala urusan”, sehingga diduga beliau juga memiliki Big Data yang cukup untuk menyelesaikan sejumlah persoalan dan membuat berbagai keputusan. Pendapat ini sangat relevan karena saat ini kita berada di era revolusi industri 4.0, dimana Big Data merupakan salah satu jenis teknologi revolusi industri 4.0 yang sedang digunakan dalam menyimpan dan menganalisis data dalam jumlah besar dari berbagai bidang misalnya bidang pendidikan, kesehatan, keuangan, pemerintahan, dan sebagainya.
Terlepas dari salah atau benarnya data 110 orang tersebut, ada banyak hal yang bisa kita pelajari dari peristiwa ini. Kita harus mengakui bahwa kebanyakan masyarakat belum mengetahui tentang Big Data. Oleh karena itu, saya tidak ingin terlarut dalam pembahasan Big Data penundaan pemilu 2024 yang hanya satu aspek saja, kita harus melihat dampak big data dalam berbagai bidang. Saya juga akan menjelaskan mengenai dampak Big Data pada bidang akuntansi. Namun, sebelumnya kita perlu memahami apa itu Big Data? Menurut Information Technology Gartner Glossary Big Data adalah kumpulan data yang memiliki volume yang tinggi dan bervariasi, sehingga diperlukan pengelolaan yang inovatif dan hemat biaya untuk meningkatkan pengetahuan, pengambilan keputusan, dan proses yang diotomatisasi. Secara sederhana, Big Data adalah himpunan data yang sangat besar, yang tidak mampu diolah oleh sistem komputer dan perangkat lunak konvensional dan memiliki karakteristik tertentu yaitu 3V (volume, variety dan velocity)
Big data merupakan salah satu topik yang sudah banyak dibahas dalam penelitian maupun praktik. Menurut penelitian Pospiech dan Falden tahun 2012 menemukan bahwa ada 70% jurnal internasional bereputasi yang berhubungan dengan Big Data yang diterbitkan dalam dua tahun terakhir dan hampir 12.000 untuk big data di google scholar dari berbagai bidang penelitian. Dari aspek volume, tahun 2012 kita menghasilkan 2,3 triliun gigabytes data dan diperkirakan tahun 2020 mencapai 43 triliun gigabytes data setiap harinya. Di aspek varietas, data-data yang dihasilkan terdiri dari berbagai jenis dan variasi seperti teks, foto, video, dan sebagainya. Di aspek velocity atau kecepatan, data yang telah dihasilkan kemudian harus dapat dianalisa dengan sangat cepat untuk menghasilkan informasi, itulah kenapa kecepatan merupakan karakter penting lainnya dari Big Data. Coba anda bayangkan bagaimana saham-saham perusahaan dapat diketahui dalam hitungan menit bahkan detik, jika data-data tersebut tidak di analisa dengan cepat. Tentunya perangkat komputer biasa tidak dapat menangani hal ini. Bisa jadi, kita akan menghabiskan beberapa tahun untuk melakukannya.
Walaupun konsep big data relatif baru, tetapi asal-usul Big data sudah ada sejak tahun 1960-an dan tahun 1970-an ketika dunia data dimulai dengan pusat data pertama dan pengembangan database. Pada tahun 2005, banyak orang mulai menyadari bahwa terdapat banyak data yang dihasilkan melalui pengguna facebook, youtube, dan layanan online lainnya. Namun saat itu Big Data dihadapkan dengan sejumlah persoalan seperti mengelola data yang terstruktur, data semi terstruktur, dan data tidak terstruktur. Sehingga, muncul inovasi baru yang membuat Big Data semakin efektif untuk digunakan, salah satunya ialah Hadoop. Menurut AWS, hadoop merupakan framework open-source yang efektif untuk menyimpan dan menganalisis dataset dalam jumlah besar. Hadoop membuat Big Data semakin mudah digunakan dan lebih mudah disimpan (Oracle, 2007).
Apa saja yang menghasilkan Big Data? Salah satunya ialah Internet of things, dengan munculnya Internet of things (IoT) lebih banyak data pengguna dan perangkat yang terhubung ke internet sehingga menghasilkan lebih banyak data. Internet of things (IoT) dapat diartikan sebagai benda-benda di sekitar kita yang dapat berkomunikasi antara satu dengan lainnya melalui jaringan internet mulai dari handphone, televisi, jam tangan, hingga lemari pendingin. Semua benda-benda tersebut menghasilkan data, baik data tentang letak titik macet di suatu tempat, data berapa detak jantungmu berdenyut setiap hari, data tentang berapa langkah kaki yang kamu ambil setiap hari, data perbankan, kesehatan, sensor untuk mengumpulkan informasi tentang iklim, postingan kamu di sosial media, data transaksi kartu kredit, dan yang paling penting ialah data untuk ilmu pengetahuan. Selain itu, hadirnya cloud computing juga telah memperluas jangkauan big data yang menawarkan kapabilitas, kemudahan akses data dan kolaborasi, serta menyediakan data yang selalu up-to-date. Cloud computing atau komputasi awan merupakan sebuah komputasi berbasis internet. Sekarang ini, cloud computing semakin sering digunakan karena kebutuhan pengguna untuk pekerjaan secara online dan memerlukan layanan secara umum seperti penyimpanan file dengan google drive atau google docs yang diakses melalui internet.
Bagaimana Big data bekerja? Ada tiga tahap dalam big data yaitu Integrate, Manage, dan Analyze. Integrate (integrasi) artinya Big data dapat menyatukan data dari berbagai sumber dan aplikasi yang berbada. Manage (mengelola) artinya Big data membutuhkan penyimpanan seperti Cloud. Analyze (Analisis) artinya data-data yang diterima akan dianalisis seperti penggambaran data, mencari sebab akibat berdasarkan data, memprediksi kejadian masa depan, maupun merekomendasikan pilihan dan implikasinya. Pertanyaan selanjutnya adalah apa saja manfaat big data? Manfaat Big Data telah dirasakan secara luas dalam berbagai sektor. Misalnya pada sektor bisnis menggunakan Big Data untuk mengoptimalisasi pengambilan keputusan dengan tujuan mencapai keuntungan. Sektor yang memberikan layanan publik menggunakan Big data untuk memaksimalkan tingkat kepuasan kepada pengguna. Memprediksi atau menganalisis penyebab suatu masalah yang terjadi pada sistem, mencegah kegagalan, dan menjadi dasar, referensi, dan acuan untuk mengambil keputusan.
Selain manfaat di atas, Big Data juga sangat bermanfaat bagi audit. Menurut Tang dan Karim tahun 2019, menyatakan bahwa teknologi Big data sangat penting bagi auditor untuk mendeteksi fraud (kecurangan) dalam laporan keuangan sebagai berikut:
- Melalui Big Data, para auditor dapat memiliki sumber data yang sangat besar, baik data keuangan maupun bukan keuangan.
- Big Data mampu meningkatkan efektivitas dan efisiensi prosedur analitis yang dilakukan oleh auditor.
- Big Data dapat memfasilitasi proses komunikasi tim audit menjadi lebih efektif dan efisien
- Big data mampu menampilkan berbagai informasi relevan yang berasal dari eksternal seperti informasi berita, indeks perusahaan, dan data pesaing melalui berbagai sumber Online, yang kemudian hal ini memberikan ide dan informasi tambahan yang membantu menyusun strategi dan analis yang lebih mendalam dalam rangka mendeteksi fraud (kecurangan).