Krisis di Palestina telah menjadi salah satu isu yang paling mendalam dan kompleks dalam sejarah modern. Konflik antara Palestina dan Israel telah berlangsung selama bertahun-tahun yang juga melahirkan tragedi kemanusiaan di daerah tersebut. Karena telah mengambil nyawa ribuan orang tak berdosa. Ironisnya, di tengah konflik dan tragedi besar itu, dengan dampak dan penderitaan yang dirasakan oleh warga di Palestia, kita menyaksikan fenomena yang sangat memiriskan dan tentu mengkhawatirkan: matinya empati dunia terhadap Palestina.
Empati adalah kemampuan untuk merasakan dan memahami perasaan orang lain. Kita sepakat, seharusnya ini menjadi prinsip yang mendasari tindakan dan respons kita terhadap situasi sulit dan penderitaan manusia, terutama ketika kehidupan ribuan orang berada dalam bahaya atau hancur. Terlepas dari agama apapun, suku apapun, dan latar belakang apapun. Namun, dalam konteks konflik Palestina-Israel, tampaknya empati dunia telah menghilang atau telah mati.
Mengapa kita katakan demikian? Salah satu alasan utama mengapa empati dunia terhadap Palestina sudah (dan semakin) memudar adalah adanya pengaruh politik dan media yang berat. Konflik ini dipandang sebagai sebuah konflik politik yang kompleks, yang melibatkan dua pihak yang kuat. Media sering menggambar cerita tentang konflik ini secara subjektif, membuat sulit bagi masyarakat dunia untuk memahami sisi kemanusiaan dari situasi ini. Kita sering melihat narasi yang sangat memihak kepada satu pihak, yang menyebabkan pemahaman yang salah dan kehilangan simpati terhadap korban di pihak lain. Begitupun dengan kebijakan politik pada banyak negara di dunia, malah menunjukkan ketidakpedulian mereka terhadap nasib Palestina. Ini terlihat dari kebijakan-kebijakan politiknya yang timoang sebelah. Mereka menunjukkan sikap dukungan yang jelas terhadap Israel, yang sering kali dianggap sebagai tindakan yang tidak adil dan tidak manusiawi. Hal ini membuat masyarakat dunia menjadi kehilangan harapan bahwa ada solusi yang adil dan berkelanjutan untuk konflik ini.
Selanjutnya, hal yang tak mampu kita mungkiri, ada faktor penyalahgunaan agama dalam konflik ini. Palestina yang merupakan tanah suci bagi tiga agama besar -- Islam, Kristen, dan Yahudi---- digunakan sebagai alasan untuk melakukan kekerasan, diskriminasi, dan penindasan terhadap penduduk Palestina. Ini adalah suatu ironi, karena ajaran-ajaran ketiga agama tersebut sebenarnya mengajarkan tentang kasih sayang, damai sejahtera, dan menghargai kehidupan manusia. Sehingga konflik ini pun seringkali dipahami dan diinterpretasikan sebagai konflik agama.
Kita menyadari, matinya empati dunia terhadap Palestina adalah suatu tragedi besar. Karena ini tidak hanya mencerminkan ketidakadilan dan pelanggaran terhadap kemanusiaan, tetapi juga mencerminkan sebuah kehilangan moral yang mengerikan. Kita harus berefleksi tentang pentingnya empati dalam menentukan sikap dan tindakan kita terhadap situasi yang sulit dan konflik kemanusiaan. Kita harus bangkit kembali dan membangun kembali empati dunia terhadap Palestina, agar tragedi ini tidak berlanjut dan generasi mendatang dapat hidup dalam keadilan dan perdamaian yang sejati.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H