Saya pernah bekerja sebagai supervisor di sebuah pabrik udang yang pekerjanya ribuan orang dan mayoritas adalah outsourching. Sistem pengupahan yang diterapkan mengacu pada UMP (Upah Minimum Propinsi) atau UMK (Upah Minimum Kota/Kabupaten) tergantung mana yang paling besar nominalnya, yang pada saat itu (tahun 2008) kalau saya tidak salah, sebesar Rp. 1.060.000. Dengan ketentuan tersebut, maka buruh berhak memperoleh gaji sesuai dgn UMP/UMK tersebut dengan catatan tidak pernah libur/cuti (25 hari kerja). Untuk mempermudah perhitungan, maka UMP/UMK tersebut dikonversi menjadi upah harian dengan cara membagi UMP/UMK dengan 25 hari kerja = Rp. 1.060.000 : 25 hari kerja = Rp. 42.400/hari. Jadi kalau ada buruh yang tidak bekerja sehari, maka upahnya akan dipotong sebesar Rp. 42.400 (Catatan: Dispensasi hanya diberikan jika buruh sakit yang dibuktikan dengan Surat Keterangan dari Dokter). Pernah salah satu anak buah saya cuti menikah selama seminggu, saat tiba waktunya gajian dia hanya terima Rp. 890.400. Kasihan sebenarnya melihat mereka, tapi apa daya, kami hanya pengawas dan kebijakan perusahaan harus tetap dijalankan.
Sementara ditempat lain di negeri ini, koruptor merajai hampir disemua lini dan tingkatan, mulai dari pejabat tinggi sampai yang hanya “kroco mumet” dan lucunya selalu berdalih “itu hanya oknum”. Oknum kok mayoritas…?. Waktunyapun mirip serial sinetron yang tayang di tv-tv indonesia, bersambung dari satu kisah ke kisah selanjutnya. Habis kasus dengan judul “anu”, lanjut ke judul “ini”, belum selesai yang “ini” sudah ada lagi judul “itu”, cape’ deeeh….!. Sebagai contoh, judul “M. Nazarudin” belum lagi tamat (pake surat-suratan segala lagi?), sudah muncul judul baru “Uang Sangu Lebaran Menakertrans Sebesar Rp. 1,5 M” (Btw : Lebaran kemana ya pake sangu segitu? Ke bulan kali ye? Hehehe….). Soal Pelakunya? Beragam, mulai dari yang “single fighter” sampai yang “berjamaah”, mulai dari eksekutif, legislatif sampai yudikatif. Soal besarnyapun beragam yang biasanya tergantung tinggi jabatan/golongan (kecuali Gayus Tambunan). Semakin tinggi jabatan, semakin besar pula nilai uangnya.
Menilik kasus-kasus yang sudah terbukti dan diputus oleh pengadilan, sebagian besar hukuman yang dijatuhkan tidak memenuhi azas kepatutan bahkan cenderung tidak masuk akal. Ada koruptor yang melahap uang negara sampai milyaran rupiah tapi hanya dihukum 2-3 tahun, yang hebatnya lagi, setiap agustusan atau lebaran akan mendapatkan remisi yang otomatis akan mengurangi hukuman yang “hanya” 2-3 tahun itu. Fuih!
Sudah banyak suara, baik itu aktifis anti korupsi, ahli hukum maupun masyarakat awam bersuara agar hukuman mati diterapkan bagi para koruptor, tapi selalu dibela para aktifis HAM dengan alasan “melanggar HAM”. Saya bukan seorang ahli hukum yang pandai merumuskan hukum yang pantas untuk mereka. Tapi sebagai awam dan warga bangsa ini yang pernah bergumul dengan para buruh, saya mengusulkan supaya koruptor dihukum dengan cara membandingkan uang yang dikorupsi dengan UMP/UMK. Jadi seluruh uang yang dikorupsi dibagi dengan UMP/UMK yang berlaku di tempat perkara dan hasilnya dikonversi menjadi jumlah bulan masa kurungan.
Sebagai contoh aktual, jika Menakertrans terbukti menerima uang suap 1,5 Milyar, maka uang tersebut dibagi dengan UMP DKI Jakarta tahun 2011 (yang kalau paman google tidak salah sebesar Rp. 1.290.000). Dengan pembagian itu maka akan diperoleh angka yang kemudian dikonversi menjadi jumlah bulan kurungan. Jadi sederhananya = Rp. 1.500.000.000 : Rp. 1.290.000 = 1.162,8 bulan = 96,9 tahun. Jadi andaikata dia memperoleh remisi setiap agustusan/lebaran sekalipun, sisa hukuman masih akan sangat lama. Itu kalau remisi untuk koruptor masih tetap ada. Idealnya sih dihapus agar semakin menghasilkan efek jera.
Nah… kira-kira kompasianer setuju nggak?
Maaf kalau tulisan ini kurang mutu. Maklum, tulisan pertama.
Salam Kompasiana….
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H