Mohon tunggu...
Timbul Hamonangan Simanjuntak
Timbul Hamonangan Simanjuntak Mohon Tunggu... -

Selalu bermanfaat terhadap sesama dan orang lain dengan banyak memberi

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Electronic Data Transaction (E-Data Transaction) Kunci Peningkatan Tax Ratio di Indonesia

13 September 2014   00:30 Diperbarui: 18 Juni 2015   00:51 76
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tuntutan peningkatan anggaran terkait langsung dengan program Presiden dan pemenuhan janji masa kampanye. Untuk anggaran APBN tahun 2014 ini pemerintahan Jokowi – JK akan bekerja selama 2 bulan 10 hari. Artinya didalam jangka waktu yang sangat pendek ini betapa pentingnya kecukupan anggaran yang masih tersedia dalam tahun anggaran 2014 dan demikian pula anggaran tahun 2015 untuk dapat manjadi modal yang baik, sehingga rencana program dapat mulai dilaksanakan sejak awal. Masalahnya adalah penerimaan negara khususnya pajak yang menjadi penopang lebih kurang 75% anggaran rata-rata tiap tahun, selalu tidak memenuhi target yang direncanakan hampir sepanjang 10 tahun terakhir ini. Disisi lain tuntutan pengeluaran anggaran terus membengkak baik untuk bayar utang dan subsidi.
Setiap tahun penerimaan pajak memang bertumbuh antara 5% s.d 10%. Namun kemampuan mengumpulkan pajak ( tax ratio) hanya berkisar lebih kurang 12,2% dari PDB selama lebih kurang 10 tahun terakhir. Angka ini ternyata sangat rendah apalagi bila dibandingkan dengan tax ratio negara-negara Asean yang rata-rata mencapai 19-20 %. Untuk ukuran negara maju seperti Eropa dan Amerika rasio ini berkisar antara 40% s.d 60%. Fenomena ini menunjukkan betapa kinerja direktorat jenderal pajak belum menunjukkan kinerja yang optimal. Stratategi ekstensifikasi dan intensifikasi tidak banyak membantu ketika pertambahan jumlah WP tidak diimbangi dengan pertambahan penerimaan secara material. Demikian juga pelayanan melalui elektronik tidak banyak membantu karena tidak menyentuh akar masalah utamanya
Dengan sistem self assesment yang dianut berarti otoritas menetapkan jumlah pajak yang harus dibayar sudah bergeser dari negara kepada warganya (wajib pajak). WP menghitung dan melapor sendiri pajaknya Dengan demikian yang mengetahui kebenaran sesungguhnya penghitungan dan jumlah pajak yang dibayar hanya wajib pajak yang bersangkutan. Effektivitas sistem ini terletak pada masalah pengawasan negara yang harus efektif sehingga jumlah pajak yang dilaporkan wajib pajak mendekati jumlah yang benar. Masalahnya direktorat jenderal pajak tidak memiliki sistem yang terpadu didalam mengawasi wajib pajak. Pengawasan yang dilakukan oleh DJP seperti verifikasi SPT, pemeriksaan SPT tidak akan pernah efektif apabila sistem ini tidak memiliki sistem pengendalian yang benar. Kepercayaan penuh yang diterima wajib pajak dimana harus dilaksanakan secara bertanggung jawab tidak diiringi dengan tingkat kepatuhan pajak yang memadai. Secara formal WP lebih kurang hanya 60% yang memasukkan SPT, dan secara material masih sangat jauh dari yang diharapkan, konon besarnya tidak sampai 25%. Artinya potensi pajak masih sangat besar dan hal ini hanya bisa diatasi dengan suatu sistem pengawasan yang terkendali. Kelemahan pengawasan DJP selama ini, tidak dimilikinya data pembanding untuk memverifikasi kebenaran SPT wajib pajak.
Oleh karena itu pembuatan data base transaksi wajib pajak yang bersifat elektronik (e-transaction) adalah kunci pengawasan yang efektif dan karenanya sangat krusial dan mendesak untuk segera didirikan. Semua data transaksi yang dilakukan oleh wajib pajak baik perorangan maupun badan terhadap lawan transaksinya akan tercatat secara elektronik dengan mengunakan satu nomor identitas (single identity number). Dengan cara ini DJP secara real time akan bisa memverifikasi SPT wajib pajak dengan data yang tersedia. Untuk efektivitasnya sistem ini memerlukan suatu organisasi DJP yang kuat, tidak lagi selevel eselon satu. Karena selama ini yang terjadi DJP tidak cukup berwibawa untuk mengimplementasikan kebijakannya ketika harus berhadapan dengan instansi setingkat menteri. Dengan sistem ini sekaligus diperoleh tiga (3) manfaat penting. Manfaat pertama Direktorat Jenderal Pajak (DJP) memiliki alat untuk mengetahui secara dini kebenaran SPT dan pajak yang dibayar oleh wajib pajak. Manfaat kedua wajib pajak yang nakal akan berfikir dua kali untuk memanipulasi jumlah pajaknya, karena takut sanksi yang berat. Manfaat ketiga, penerimaan pajak akan sangat optimal. Tax ratio akan melonjak tajam diperkirakan penerimaan pajak meningkat sedikitnya 2 kali lipat.
Untuk membangun sistem ini diperlukan suatu organisasi yang kuat dan mampu melakukan kordinasi dengan baik keseluruh kantor kementrian dan lembaga terkait yang ada, guna mengkonsolidasikan data transaksi di masing-masing instansi tersebut untuk disatukan menjadi satu nomor identitas. Dengan demikian diperlukan DJP yang kuat yang langsung dibawah kordinasi presiden untuk dapat melakukan tugas penting ini. Perlu dipahami setelah tersedianya data base dimaksud, implementasi pengawasan hanya dapat efektif bilamana diiringi dengan law enforcement yang memadai. Untuk itu sangat diperlukan penugasan khusus ini dilaksanakan oleh petugas aparat yang benar-benar memiliki integritas tinggi dan loyalitas kepada Negara yang tinggi dan untuk itu masih sangat banyak pegawai DJP yang dapat diberikan kepercayaan ini.
Oleh: Dr. Timbul H Simanjuntak, SE., MA (expert fiscal) / Dosen FE Universitas Maranatha Bandung

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun