Mohon tunggu...
Timotius Apriyanto
Timotius Apriyanto Mohon Tunggu... Konsultan - OPINI | ANALISA | Kebijakan Publik | Energi | Ekonomi | Politik | Hukum | Pendidikan

Penulis adalah pengamat ekonomi politik, reformasi birokrasi, dan pendidikan

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Pilihan

Demokrasi Recehan Pilkada 2024

27 November 2024   06:10 Diperbarui: 27 November 2024   06:10 65
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(ilustrasi recehan | sumber: liputan6.com)

Tulisan ini saya buat untuk PILKADA 2020 dengan penyesuaian data untuk PILKADA 2024. Konteks substansi demokrasi yang secara umum tidak berubah selama 4 tahun, menunjukkan betapa Indonesia tidak mengalami kemajuan dalam pembangunan demokrasi substantif.

Sebut saja biaya politik untuk jabatan Gubernur bisa mencapai ratusan Milyar Rupiah, dan biaya politik untuk jabatan bupati atau walikota bisa mencapai belasan sampai puluhan Milyar. Bagaimana logika kita dengan biaya politik yang tinggi tersebut para pemenang PILKADA mengembalikan "investasi" mereka?

"Para pejabat publik yang menggunakan kekuasaan secara buruk dan memiliki latar belakang dipilih bukan secara partisipatif, hanya akan melahirkan penguasa dan bukan pemimpin. Munculnya penguasa dan bukan pemimpin merupakan suatu paradox demokrasi. Demokrasi seharusnya melahirkan partisipasi rakyat dalam suatu negara untuk memilih pemimpin dan bukan mobilisasi kekuasaan bagi para politisi".

Bangsa Indonesia menjelang 100 tahun Indonesia Merdeka, belum sepenuhnya menjunjung tinggi substansi Demokrasi Pancasila sebagai sebuah sistem demokrasi yang bermartabat dalam praksis kehidupan politik. Kita selama ini bicara tentang demokrasi tanpa kita memahami dan menghayati substansi maknanya. 

Penggunaan pendekatan kekuasaan dan kekerasan dalam memecahkan persoalan bangsa, jelas bukan merupakan ciri masyarakat demokratis namun sebaliknya adalah cara-cara dalam sistem absolutisme. 

Ironis, bahwa dalam retorika demokrasi di Indonesia, iklim pendekatan pragmatisme kekuasaan masih terus terjadi. Salah satu pembenaran terhadap situasi demikian tadi adalah bahwa Indonesia sedang berada dalam proses transisi demokrasi dari absolutisme ke demokrasi prosedural menuju ke demokrasi substantif.  

Kenneth Minogue (2013)  meneliti keberadaan dan perkembangan demokrasi barat, menyebutkan bahwa rendahnya kecerdasan mentalitas kolektif yang dia sebut sebagai "pikiran budak" telah berkontribusi dalam merendahkan substansi demokrasi. 

Salah satu kritik cukup pedas adalah pernyataan Minogue dalam bukunya "A Pathology of Democracy", menyebutkan : "Sebuah aliran realisme yang terus-menerus terjadi dalam sebuah sistem demokrasi menunjukkan gejala bahwa setiap sistem demokrasi pada akhirnya adalah oligarki kekuasaan. Para pejabat dan politisi, sebagai pengontrol agenda dan retorika dalam diskusi publik, benar-benar menentukan apa yang terjadi.

Kita melihat banyak persoalan bangsa Indonesia yang menunjukkan keadaan bahwa demokrasi kita sedang bermasalah. Salah satu gejala sakitnya demokrasi kita adalah bahwa kekuasaan yang dipercayakan oleh rakyat melalui sistem pemilihan umum (pemilu) sering dianggap hanya sebagai legitimasi kekuatan politik absolut.

Demokrasi Prosedural dan Praktik Politik Recehan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun