Kabinet Prabowo Subianto 2024-2029 dikabarkan akan menjadi kabinet terbesar ketiga dalam sejarah Indonesia, dengan 49 menteri dan 59 wakil menteri atau pejabat tinggi lain yang setara, setelah Kabinet Dwikora I di bawah kepemimpinan Sukarno pada tahun 1964-1966 terdiri dari 111 menteri dan Kabinet Dwikora II juga disebut Kabinet yang Disempurnakan karena jumlah menteri dan pejabat setingkat menteri mencapai 132 orang.
Kabinet Jokowi pada periode kedua (2019-2024) memiliki 34 menteri, dan pada masa Prabowo (2024 - 2029), kabinet diproyeksikan semakin gemuk dengan 108 pejabat.
Berdasarkan analisa Center of Economic and Law Studies (Celios), dengan asumsi perhitungan gaji dan tunjangan menteri sebesar Rp150 juta per bulan, gaji dan tunjangan wamen sebesar Rp100 juta per bulan, serta anggaran operasional diasumsikan Rp500 juta per bulan per menteri dan wakil menteri.
Berdasarkan asumsi itu, per tahunnya, maka total gaji dan tunjangan sebanyak 49 menteri adalah sebesar Rp88,2 miliar per tahun. Kemudian, gaji dan tunjangan sebanyak 59 wamen diasumsi akan membebankan kas negara sebesar Rp70,8 miliar per tahun.
Sementara anggaran operasional menteri dan wamen diperhitungkan membutuhkan anggaran Rp648 miliar per tahun. Total estimasi kebutuhan anggaran untuk gaji menteri dan wamen di era Prabowo-Gibran adalah sebesar Rp777 miliar per tahun.
Jika dibandingkan dengan perhitungan yang sama, total anggaran untuk gaji dan tunjangan menteri dan wakil menteri era Jokowi-Ma'ruf Amin adalah sebesar Rp387,6 miliar per tahun. Maka estimasi ada peningkatan anggaran sebesar Rp389,4 miliar per tahun.
Peningkatan anggaran untuk menteri dari era Jokowi ke era Prabowo diperkirakan mencapai Rp1,95 triliun, berdasarkan asumsi tersebut.
Indonesia saat ini tengah menghadapi deflasi terbanyak pasca pandemi dan terakhir tercatat sebesar 0,12% pada September 2024, yang menunjukkan fenomena penurunan daya beli dari konsumsi masyarakat meskipun secara teknis hal ini dipengaruhi oleh "volatile price" dari komoditi pangan. Cadangan devisa di awal Oktober 2024 juga menurun menjadi USD 149,9 miliar dari USD 150 miliar pada bulan sebelumnya, di tengah ancaman pelemahan nilai tukar rupiah akibat meningkatnya ketidakpastian geopolitik global. Tren Purchasing Manager Index (PMI) manufaktur dan jasa terus mengalami kontraksi, masing-masing berada di angka 48,5 dan 49,3 pada September 2024, mengindikasikan pelambatan di sektor ekonomi utama. Kita juga bisa melihat dari jumlah kelas menengah yang saat ini menjadi 17,13% menurun sebesar 4,32% dari proporsi kelas menengah tahun 2019 yang mencapai 21,45% dari total populasi saat itu. Jumlah kelas menengah tahun 2024 sebanyak 47,85 juta orang.
Penanganan krisis ekonomi seharusnya menjadi fokus pemerintah, namun dengan adanya penambahan jumlah menteri dan wakil menteri, pemerintah justru menambah beban anggaran yang diperkirakan mencapai Rp 777 miliar per tahun. Struktur kabinet yang besar cenderung akan memperlambat pengambilan keputusan dan menambah beban administrasi, sebagaimana dikritik oleh Max Weber (1922) dalam "Economy and Society", yang menekankan pentingnya birokrasi yang efisien dan rasional.
Postur APBN 2025 dan Ancaman Ketidakefisienan