Mohon tunggu...
Timotius Apriyanto
Timotius Apriyanto Mohon Tunggu... Konsultan - OPINI | ANALISA | Kebijakan Publik | Energi | Ekonomi | Politik | Hukum | Pendidikan

Penulis adalah pengamat ekonomi politik, reformasi birokrasi, dan pendidikan

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Kabinet Tergemuk Ketiga dalam Sejarah Kabinet Indonesia di Tengah Ketidakpastian Global

20 Oktober 2024   13:35 Diperbarui: 20 Oktober 2024   14:01 222
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Prabowo mengucap sumpah sebagai presiden di Gedung MPR, Minggu (20/10/2024) | sumber: kompas.com

APBN 2025 mencerminkan prioritas yang tidak seimbang. Alokasi untuk belanja pegawai meningkat menjadi Rp 513,22 triliun, naik sekitar 11,36% dari outlook APBN 2024 yang hanya sebesar Rp 460,86 triliun.

Kabinet gemuk dalam postur APBN yang terbatas, menjadi semakin ironis saat keuangan negara akan lebih banyak terserap untuk biaya birokrasi dibandingkan untuk program pemulihan ekonomi yang sangat dibutuhkan.

Ancaman krisis ekonomi yang semakin nyata memerlukan kebijakan efektif dan efisien. Penambahan jumlah menteri dan wakil menteri hanya akan memperburuk beban fiskal, terutama di tengah daya beli masyarakat yang menurun, cadangan devisa yang tergerus, dan lemahnya kinerja sektor manufaktur dan jasa. Kabinet yang gemuk bukan solusi, melainkan beban tambahan bagi negara yang seharusnya lebih fokus pada perbaikan ekonomi dan kesejahteraan rakyat.

Perbandingan Besar Kabinet Beberapa Negara 

Dwight Waldo (1948) dalam The Administrative State, mengkritik kecenderungan pemerintah untuk memperbesar birokrasi dengan dalih stabilitas politik. Waldo menyatakan bahwa birokrasi yang besar cenderung tidak efisien dan boros, karena semakin banyaknya aktor politik yang harus diakomodasi dalam struktur pemerintahan. Ini sangat relevan dengan kondisi Indonesia saat ini, di mana kabinet yang gemuk semakin menambah beban pada APBN yang sudah terbebani oleh utang.

Jika dibandingkan dengan negara-negara lain, ukuran kabinet Indonesia jauh lebih besar. Di Amerika Serikat, kabinet terdiri dari 15 kementerian inti, sementara di Jerman dan Belanda, jumlah kementerian tidak lebih dari 16. Struktur ini memungkinkan efisiensi dalam pengambilan keputusan, dengan fokus yang jelas pada isu-isu strategis.

Di Singapura, kabinet hanya memiliki sekitar 20 kementerian, tetapi mereka mampu menjalankan pemerintahan yang efektif dan responsif. Ini menunjukkan bahwa ukuran kabinet tidak berbanding lurus dengan efektivitas. Kabinet yang kecil namun profesional justru lebih mampu menangani tantangan ekonomi dan sosial secara cepat dan tepat.

Pentingnya Efisiensi dan Responsif dalam Pemerintahan

Dengan kondisi ekonomi Indonesia yang menghadapi deflasi, penurunan cadangan devisa, serta perlambatan sektor manufaktur dan jasa, pemerintah harus segera mengevaluasi prioritas kebijakannya. Postur APBN 2025 yang tidak seimbang, dengan belanja birokrasi yang terus membengkak, harus dikoreksi agar lebih berorientasi pada pemulihan ekonomi rakyat dan penguatan daya beli.

Pelajaran dari negara-negara lain tadi, menunjukkan bahwa kabinet yang kecil, efisien, dan profesional lebih efektif dalam mengelola krisis ekonomi. Indonesia harus mengambil langkah tegas untuk merampingkan struktur kabinet dan memperkuat fokus pada kebijakan yang pro-rakyat dan berorientasi pada pemulihan ekonomi. Kabinet gemuk bukanlah solusi untuk tantangan yang dihadapi; yang dibutuhkan adalah efisiensi, kompetensi, dan kebijakan yang berorientasi pada kesejahteraan rakyat.

Tipologi Kabinet Berdasarkan Bentuk Pemerintahan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun