Mohon tunggu...
Timotius Apriyanto
Timotius Apriyanto Mohon Tunggu... Konsultan - OPINI | ANALISA | Kebijakan Publik | Energi | Ekonomi | Politik | Filsafat | Climate Justice and DRR

Penulis adalah praktisi Pengurangan Risiko Bencana dan Pengamat Sosial

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Etika Konstitusi dan Kritik Atas Kemerosotan Praktik Tatanan Demokrasi

27 September 2024   11:26 Diperbarui: 27 September 2024   11:26 10
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Konstitusi adalah fondasi hukum tertinggi yang mengatur mekanisme pemerintahan, pembagian kekuasaan, serta hubungan antara negara dan warga negara. Namun, konstitusi bukan sekadar kumpulan aturan hukum. Ia juga memuat nilai-nilai etika yang seharusnya menjadi pedoman dalam penyelenggaraan negara.

Etika konstitusi mengacu pada norma moral dan prinsip etis yang mendasari penerapan konstitusi. Konstitusi yang dijalankan secara etis harus memperjuangkan keadilan, hak asasi manusia, keseimbangan kekuasaan, serta memperhatikan kesejahteraan rakyat.

Namun, di berbagai negara, praktik etika konstitusi mengalami degradasi atau kemerosotan, terutama di tengah tekanan politik dan kepentingan elit. Fenomena ini dapat mengikis kepercayaan publik dan merusak legitimasi moral dari pemerintahan yang berkuasa. 

Dalam konteks tata kelola negara, legitimasi moral sering kali ditentukan oleh bagaimana suatu sistem politik atau hukum dipersepsikan oleh masyarakatnya. Legitimasi tidak hanya berdasarkan legalitas, tetapi juga pada moralitas dari aturan dan tindakan yang diambil oleh pemerintah. Konstitusi, sebagai landasan hukum tertinggi, berperan dalam membentuk struktur kekuasaan dan mekanisme pengambilan keputusan. Namun, legalitas konstitusi saja tidak cukup; konstitusi juga harus mencerminkan nilai-nilai moral yang dipegang oleh masyarakat untuk mempertahankan legitimasi moral.

Etika Konstitusi Sebagai Landasan Normatif dalam Penyelenggaraan Negara

Etika konstitusi mencerminkan nilai-nilai dasar yang berfungsi sebagai pedoman moral dalam penyelenggaraan negara. John Rawls (1971), dalam karyanya A Theory of Justice, menekankan pentingnya keadilan sebagai prinsip utama dalam penyusunan aturan konstitusional. Rawls berpendapat bahwa konstitusi yang adil harus didasarkan pada prinsip "fairness", di mana setiap individu memiliki hak yang sama dalam sistem hukum dan politik.

Ronald Dworkin (1986), dalam bukunya Law's Empire, menambahkan bahwa hukum tidak hanya harus dipahami secara tekstual, tetapi juga dalam kerangka prinsip-prinsip moral yang mendasari penafsirannya. Dalam hal ini, etika konstitusi harus selalu mempertimbangkan kepentingan masyarakat luas, bukan hanya kepentingan penguasa.

Etika konstitusi, dalam praktik yang seharusnya

1. Melindungi Hak Asasi Manusia: Konstitusi yang etis harus menjamin hak-hak fundamental warga negara dan melindungi mereka dari penyalahgunaan kekuasaan.

2. Menegakkan Keadilan: Konstitusi harus mencegah ketidakadilan, baik dalam sistem hukum, ekonomi, maupun politik.

3. Mendorong Akuntabilitas dan Transparansi: Pemerintahan yang bertindak berdasarkan etika konstitusi wajib terbuka terhadap pengawasan publik dan bertanggung jawab atas tindakannya.

4. Menjaga Keseimbangan Kekuasaan: Prinsip pemisahan kekuasaan antara eksekutif, legislatif, dan yudikatif harus diimplementasikan secara ketat untuk mencegah konsentrasi kekuasaan yang berlebihan pada satu pihak.

Namun, di banyak negara termasuk di Indonesia, prinsip-prinsip ini seringkali dilanggar atau diabaikan. Kondisi ini menimbulkan pertanyaan tentang sejauh mana legitimasi moral sebuah pemerintahan dapat dipertahankan ketika konstitusi yang seharusnya menjadi pelindung rakyat justru dilanggar oleh pihak berkuasa.

Kemerosotan Praktik Etika Konstitusi

Kemerosotan praktik etika konstitusi terjadi ketika prinsip-prinsip dasar moral dalam konstitusi diabaikan, dilanggar, atau digunakan untuk kepentingan politik semata. Fenomena ini tampak dalam beberapa aspek berikut:

1. Pelanggaran Hak Asasi Manusia

Salah satu indikator paling jelas dari kemerosotan etika konstitusi adalah pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Banyak negara yang memiliki konstitusi dengan jaminan hak-hak asasi, namun dalam praktiknya, kebebasan individu, hak untuk mendapatkan keadilan, dan hak untuk berpendapat kerap dibatasi. Contoh yang dapat ditemukan di negara-negara dengan rezim otoriter adalah penggunaan hukum untuk membungkam oposisi dan menekan kebebasan pers.

Sebagai contoh, meskipun dalam konstitusi banyak negara menjamin kebebasan berpendapat, tindakan represif terhadap aktivis atau media menunjukkan bahwa prinsip ini tidak dihormati. Di negara-negara seperti Hong Kong dan Mesir, kita dapat melihat bagaimana undang-undang keamanan digunakan untuk mengabaikan hak-hak dasar, yang bertentangan dengan etika konstitusi.

2. Korupsi dalam Pemerintahan

Korupsi adalah bentuk pelanggaran etika konstitusi yang sangat merusak legitimasi moral pemerintahan. Konstitusi yang etis menuntut adanya akuntabilitas dan transparansi dalam pengelolaan kekuasaan, namun dalam banyak kasus, para elit politik menggunakan kekuasaannya untuk memperkaya diri dan kelompoknya.

Transparency International (2023) melaporkan bahwa korupsi di banyak negara berkembang masih menjadi masalah utama yang menggerogoti pemerintahan dan melemahkan penegakan hukum. Korupsi melemahkan prinsip-prinsip konstitusional yang menuntut keadilan sosial dan merusak hubungan antara pemerintah dan rakyatnya.

3. Manipulasi Proses Pemilihan

Etika konstitusi menuntut bahwa proses demokrasi, terutama dalam pemilihan umum, harus berlangsung secara adil dan bebas dari manipulasi. Namun, di banyak negara, praktik-praktik seperti gerrymandering, penundaan pemilu, atau manipulasi hasil pemilu telah menjadi kebiasaan untuk mempertahankan kekuasaan elit politik. Contohnya, di beberapa negara di Afrika, manipulasi hasil pemilu telah memicu ketidakpuasan publik yang kemudian menyebabkan kerusuhan politik.

Pelanggaran seperti ini tidak hanya merusak legitimasi pemerintah, tetapi juga membuktikan bahwa etika konstitusi telah diabaikan demi kepentingan politik jangka pendek.

4. Pengabaian Prinsip Pemisahan Kekuasaan

Salah satu prinsip utama dalam etika konstitusi adalah pemisahan kekuasaan antara eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Tujuannya adalah untuk mencegah kekuasaan yang terkonsentrasi pada satu pihak dan mendorong akuntabilitas di dalam pemerintahan. Namun, dalam beberapa negara, intervensi eksekutif terhadap lembaga yudikatif atau legislatif telah mengakibatkan hilangnya independensi lembaga-lembaga tersebut.

Sebagai contoh, di negara-negara dengan kecenderungan otoritarian, seperti Rusia dan Turki, presiden atau kepala negara sering kali memiliki pengaruh yang terlalu besar terhadap lembaga peradilan, sehingga pengadilan tidak lagi berfungsi sebagai pengawas yang independen. Ini merupakan bentuk jelas dari kemerosotan etika konstitusi, di mana kekuasaan menjadi alat untuk memperkuat kedudukan politik tertentu.

Kritik Atas Kemerosotan Etika Konstitusi

Kritik terhadap kemerosotan praktik etika konstitusi harus dilihat dari perspektif moral dan sosial. Ketika pelanggaran konstitusi terus dibiarkan, hal ini menciptakan kondisi yang merusak integritas sistem politik dan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah. Kemerosotan ini menandakan bahwa konstitusi telah kehilangan fungsinya sebagai penjaga keadilan dan instrumen pengawasan terhadap kekuasaan.

1. Erosi Kepercayaan Publik

Pelanggaran etika konstitusi secara langsung berhubungan dengan hilangnya kepercayaan publik terhadap pemerintah. Masyarakat yang melihat hak-haknya dilanggar atau ketidakadilan yang dilegalkan akan merasa teralienasi dari sistem politik. Kondisi ini menciptakan sikap apatis politik, di mana masyarakat merasa bahwa tidak ada lagi ruang untuk memperjuangkan keadilan atau memperbaiki sistem yang ada.

2. Legitimasi Moral yang Terkikis

Prinsip utama dari etika konstitusi adalah membangun legitimasi moral yang kokoh bagi pemerintahan. Namun, ketika prinsip-prinsip konstitusional dilanggar, legitimasi moral ini akan terkikis. Pemerintahan yang kehilangan legitimasi moral mungkin masih memiliki kekuasaan formal, tetapi ia kehilangan dukungan moral dari rakyatnya. Hal ini meningkatkan risiko ketidakstabilan sosial dan politik, yang pada akhirnya dapat menyebabkan keruntuhan sistem yang ada.

Etika konstitusi dan legitimasi moral adalah dua konsep yang saling terkait dan mendasar dalam teori sosial.

John Rawls, melalui bukunya "A Theory of Justice" (1971), memperkenalkan konsep keadilan sebagai fairness yang menjadi dasar bagi legitimasi moral. Menurut Rawls, konstitusi yang adil harus didasarkan pada prinsip-prinsip keadilan yang dapat diterima oleh semua individu tanpa memperhatikan posisi sosial mereka. Rawls menggunakan metafora "veil of ignorance", di mana individu membuat keputusan tentang prinsip-prinsip dasar masyarakat tanpa mengetahui posisi mereka di dalam struktur sosial.

Dalam konteks etika konstitusi, Rawls menekankan bahwa legitimasi moral suatu sistem politik tergantung pada sejauh mana prinsip-prinsip keadilan ditegakkan. Jika konstitusi mempromosikan keadilan distributif, yaitu pembagian hak dan kewajiban yang adil, maka legitimasi moral akan terjaga. Sebaliknya, jika ketidakadilan terjadi, legitimasi moral dari sistem tersebut akan diragukan, meskipun mungkin tetap sah secara hukum.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun