Mohon tunggu...
Timotius Apriyanto
Timotius Apriyanto Mohon Tunggu... Konsultan - OPINI | ANALISA | Kebijakan Publik | Energi | Ekonomi | Politik | Filsafat | Climate Justice and DRR

Penulis adalah praktisi Pengurangan Risiko Bencana dan Pengamat Sosial

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Lanskap Politik Pasca Pemilu 2024 dan Pengaruhnya terhadap Keistimewaan DIY

19 Februari 2024   08:36 Diperbarui: 19 Februari 2024   14:01 368
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hal yang sangat mengejutkan bagi publik  adalah informasi dari mayoritas lembaga penyedia data hitung cepat menyatakan perolehan kubu 02 hampir 60% dan merata lebih dari 20 provinsi. 

Kita masih ingat bagaimana film "Dirty Vote" yang berdurasi 117 menit juga ramai diperbincangkan publik sejak tayang perdana 11 Februari 2024 melalui kanal Youtube. 

Pemilu tahun 2024 di Indonesia juga menjadi pemilu yang penuh kontroversi dengan majunya Gibran sebagai Cawapres Prabowo. Faktor penentu keberhasilan Prabowo tidak bisa dilepaskan dari efek Jokowi dan penggunaan kebijakan "Pork Barrel" menjelang pelaksanaan pemilu 2024.

The Economist (7 Sep 2023) menuliskan sebuah artikel dengan judul "What will Indonesia look like after Jokowi leaves? The president's legacy is not guaranteed." Dalam artikel tersebut dituliskan bahwa para kritikus mengatakan, proyek IKN senilai $34 miliar, yang diproyeksikan akan selesai pada tahun 2045, tidak realistis. Pemerintah menyampaikan akan menanggung 20% dari biaya yang diproyeksikan, dan sisanya didanai oleh investor dalam dan luar negeri. Namun faktanya, lebih dari empat tahun setelah proyek tersebut diumumkan, tidak ada satupun investor asing yang menandatangani kontrak yang mengikat untuk mendanai kota tersebut.  
 
Pasca pelaksanaan pemilu di Indonesia, BBC (15/02) dengan artikel "Prabowo Subianto on track to win Indonesia presidential race - early results," menyampaikan bahwa Prabowo (72 tahun), adalah tokoh yang terpolarisasi dan popularitasnya telah menimbulkan kekhawatiran bahwa Indonesia berada dalam bahaya kembali ke masa lalu yang otoriter. 

Sebagai mantan komandan jenderal pasukan khusus di bawah diktator Jenderal Suharto, ia dirundung tuduhan pelanggaran hak asasi manusia. Jokowi juga dituduh berkontribusi melemahkan demokrasi di Indonesia, dan menyalahgunakan kekuasaannya dalam aliansinya dengan Prabowo. Sebagian masyarakat terdidik Indonesia, meyakini kemenangan Prabowo akan memberikan arah mundur 25 tahun yang mencemaskan demokrasi.

Buku "How Democracies Die" karya Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt (2018) sempat memicu perdebatan di Indonesia pada penghujung tahun 2020. Saya waktu itu sempat menuliskan apologi untuk Jokowi dari serangan narasi para oposisi melalui sebuah opini dengan judul "Menguji Insinuasi Matinya Demokrasi di Era Jokowi". Narasi pembelaan saya itu runtuh, seiring runtuhnya integritas moral & etika demokrasi yang dipertontonkan Jokowi sejak akhir Oktober 2023. Empat Indikator Perilaku Otoritarianisme dalam buku tersebut perlahan terpenuhi.

Profesor Harvard Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt telah menghabiskan lebih dari dua puluh tahun mempelajari runtuhnya demokrasi di Eropa dan Amerika Latin. Berdasarkan penelitian selama puluhan tahun dan kajian berbagai sejarah dunia, mulai dari Eropa pada tahun 1930-an hingga Hongaria, Turki, dan Venezuela masa kini, hingga Amerika Selatan pada masa Jim Crow, Levitsky dan Ziblatt menunjukkan bagaimana demokrasi mati dan bagaimana demokrasi kita bisa diselamatkan.

Terpilihnya Donald Trump (2016) sebagai presiden, telah menimbulkan banyak pertanyaan publik: Apakah demokrasi kita dalam bahaya? Para peneliti tersebut yakin jawabannya adalah ya, bahwa demokrasi kita dalam bahaya. Donald Trump digambarkan sebagai sosok politisi republikan yang populis, proteksionis, isolasionis, dan nasionalis. 

Kehidupan demokrasi saat ini tidak lagi berakhir dengan sebuah peristiwa ledakan dalam bentuk revolusi atau kudeta militer, tetapi bisa terancam dengan pelemahan institusi-institusi penting seperti peradilan dan pers secara perlahan dan terus-menerus,  dan terkikisnya norma-norma politik demokratis secara bertahap. Dalam buku tersebut dituliskan "Empat Indikator Perilaku Otoritarianisme" yaitu:
1. Reject of (or weak commitment to) democratic rule of the game (Penolakan (atau lemah komitmen) terhadap sendi-sendi demokrasi.
2. Denial of the legitimacy of political opponent (Penolakan terhadap legitimasi oposisi).
3. Toleration or encouragement of violence (Toleransi, membiarkan atau mendorong adanya aksi kekerasan).
4. Readiness to curtail civil liberties of opponent, including media (Kesiagaan untuk membungkam kebebasan sipil).

Sejarawan Inggris, Lord Acton (1834-1902) saat beliau mengirim surat kepada Uskup Mandell Creighton pada tanggal 3 April 1887, menuliskan sebuah adagium politik yang sangat populer "Power tends to corrupt and absolute power corrupts absolutely". Kekawatiran organisasi masyarakat sipil di Indonesia pasca pemilu 2024 adalah akan munculnya absolutisme neo orde baru. 

Salah satu catatan penting pemilu 2024 di Indonesia adalah lemahnya legitimasi moral dan etika politik. Hal ini tentu akan bisa memicu krisis kepemimpinan nasional. Komunikasi politik akan banyak diwarnai pragmatisme. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun