Situasi politik nasional akibat Pandemi Covid-19 menunjukkan eskalasi yang meningkat tajam dengan ditandai berbagai peristiwa seperti demonstrasi, dan perdebatan politik di berbagai media. Thema politik yang tajam digelar secara daring dalam beberapa diskusi. Perang tagar dimedia sosial menjadi semakin lazim menggunakan isu seputar penanganan covid. Akhir bulan Mei 2020 lalu, sebuah rencana diskusi kelompok mahasiswa Fakultas Hukum UGM dengan thema seputar kajian konstitusi pemakzulan Presiden batal diselenggarakan, dan menyisakan polemik yang melibatkan beberapa politisi senior dan guru besar di bidang hukum.Â
Kondisi turbulensi politik nasional ini apabila dibiarkan, hampir pasti akan bisa memicu kekacauan politik (political turmoil) yang berimplikasi pada terganggunya keamanan nasional dalam momentum Pandemi Covid-19 di era pemerintahan Presiden Joko Widodo.Â
Turbulensi politik ini juga akan sangat berisiko terhadap perjalanan Indonesia sebagai bangsa besar. Ibarat pesawat terbang yang mengalami guncangan, Indonesia butuh keluar dari situasi sengkarut politik dalam negeri. Apabila terjadi kerusakan pesawat akibat cuaca turbulen saat terbang, maka pilihan pertamanya adalah bagaimana membetulkan kerusakan pesawat itu ketika terbang (fixing the plane while flying it). Namun demikian gagalnya upaya untuk mengatasi situasi turbulen ini bisa berakibat vatal.
Membaca peta situasi yang turbulen tadi, ada beberapa catatan penting untuk diperhatikan berkaitan peristiwa politik nasional.
Pandemi Covid-19 ini telah memicu dinamika perubahan lanskap politik dan lanskap ekonomi di Indonesia secara drastis. Perubahan drastis tersebut menjadi salah satu penyebab turbulensi politik, yang juga dipengaruhi tekanan politik dan ekonomi dunia.
Kutipan populer Patience Johnson (2012) "In politics no permanent friends, no permanent enemies but permanent interest", bahwa didunia politik tidak ada kawan sejati tetapi kepentingan abadi. Salah satu kondisi khusus yang penting diperhatikan dalam konteks politik nasional di Indonesia adalah realita bahwa dinamikanya sangat dipengaruhi oleh kepentingan-kepentingan pribadi maupun golongan tanpa dilandasi kepentingan nasional ("National Interest") sebagai pijakan bersama.Â
Perseteruan politik di Indonesia kini bukan lagi soal pertarungan ideologi tapi soal kepentingan jangka pendek yang ujung-ujungnya duit.
Beberapa kepentingan pragmatis tersebut misalnya adalah kepentingan untuk terlepas dari jerat hukum bagi individu ataupun kelompok yang terindikasi melakukan tindakan melawan hukum seperti korupsi, tindak pidana pajak, tindak pidana umum, sampai tindak pidana khusus.Upaya memenuhi kepentingan untuk terlepas dari jerat hukum ini dilakukan dengan berbagai cara, baik melalui tindakan suap kepada pihak-pihak tertentu sampai dengan upaya politik seperti melakukan lobi, negosiasi, dan mengorganisir isu melalui berbagai aksi-aksi demonstrasi.
Kepentingan lainnya adalah kepentingan ekonomi yang terkait dengan tender proyek-proyek besar diberbagai sektor seperti sektor energi dan pertambangan, infrastruktur umum Indonesia, maupun proyek-proyek lain baik yang didanai oleh APBN maupun pihak swasta.
Sementara itu, kepentingan politik kekuasaan adalah hal lain selain dua Kepentingan tersebut diatas. Kepentingan ini terkait langsung dengan upaya-upaya baik individu maupun kelompok untuk duduk di kursi-kursi kekuasaan pada lembaga eksekutif, lembaga legislatif, dan lembaga yudikatif. Kursi kekuasaan adalah posisi yang sangat penting dalam berbagai maknanya, baik untuk memastikan peran-peran strategis dalam lembaga-lembaga tersebut agar  bisa lebih mudah untuk mengatur dan mengendalikan berbagai kepentingan maupun sebagai basis simbol kekuatan politik
Politik kepentingan pragmatis mendominasi dinamika peristiwa-peristiwa politik di Indonesia dan memicu munculnya lingkaran setan ("vicious circle") politik yaitu "politik untuk kepentingan dan kepentingan untuk politik". Politik kepentingan yang demikian adalah politik tingkat rendah dan dengan lingkaran kepentingannya seperti seolah membentuk negara dalam negara ("Imperium in Imperio").