Mohon tunggu...
Timotius Apriyanto
Timotius Apriyanto Mohon Tunggu... Konsultan - OPINI | ANALISA | Kebijakan Publik | Energi | Ekonomi | Politik | Filsafat | Climate Justice and DRR

Penulis adalah praktisi Pengurangan Risiko Bencana dan Pengamat Sosial

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Transisi Kultur Monarki dalam Birokrasi di Indonesia

13 Mei 2020   22:50 Diperbarui: 14 Mei 2020   04:00 289
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Merubah budaya monarki di Republik ini, membutuhkan upaya seperti apa yang terjadi di era kepemimpinan Gus Dur, yaitu sebuah keputusan dari pemimpin untuk sebuah perubahan mendasar. Keputusan sebagai bentuk perubahan mendasar ini adalah keputusan Gus Dur untuk melakukan Desakralisasi Lembaga Kepresidenan dan Reformasi Budaya Birokrasi.

Hal ini penting untuk merubah kultur politik dan kultur Birokrasi Indonesia yang cenderung mengarah ke kultur Monarki. Budaya politik dan budaya birokrasi yang masih menempatkan pemimpin politik sebagai raja yang selalu dimuliakan, tidak pernah salah, dan sakral dalam apapun posisinya.

Dalam posisi pemimpin yang dipuja seperti itu pastilah ada kepentingan pribadi atau kelompok disekitar istana. Budaya birokrasi feodal yang demikian di sebuah republik harus dirubah dengan menempatkan pemimpin menjadi abdi rakyat.

Indonesia sebagai sebuah republik yang demokratis mengenal Aparatur Sipil Negara sebagai pelayan masyarakat ("Civil Servant") atau pamong praja. Hal inilah yang sebetulnya menjadi salah satu substansi dari gerakan reformasi budaya birokrasi Indonesia yaitu perubahan paradigmatik makna kekuasaan politik di republik ini. Transisi dari "Pangreh Praja" sebagai pengabdi kekuasaan dimasa kolonial, menjadi "Pamong Projo" pengayom dan pengabdi masyarakat. 

Kekuasaan bukan menjadi sebuah tujuan tapi kekuasaan harus menjadi alat untuk mencapai tujuan bersama yaitu kesejahteraan sosial, keadilan, dan perdamaian.

Rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi Republik Indonesia harus menjadi pusat birokrasi pemerintah. Transisi perubahan budaya birokrasi ini harus dimulai dengan komitmen bersama dengan pemimpin yang kuat dan merakyat seperti presiden Joko Widodo.

Salah satu aplikasi yang bisa dilihat adalah adanya program Istura atau Istana Untuk Rakyat yang memberikan kesempatan kepada rakyat untuk mengunjungi serta mengenal Istana Negara lebih dekat.

Keberhasilan perubahan dalam masa transisi ini bukan hanya tergantung pada pemimpin dan kebijakannya saja, melainkan juga tergantung pada komitmen bersama seluruh rakyat untuk mendekonstruksi kultur birokrasi yang buruk. (TA)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun