Mohon tunggu...
Timotius Apriyanto
Timotius Apriyanto Mohon Tunggu... Konsultan - OPINI | ANALISA | Kebijakan Publik | Energi | Ekonomi | Politik | Filsafat | Climate Justice and DRR

Penulis adalah praktisi Pengurangan Risiko Bencana dan Pengamat Sosial

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Transisi Kultur Monarki dalam Birokrasi di Indonesia

13 Mei 2020   22:50 Diperbarui: 14 Mei 2020   04:00 289
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pasca kekuasaan monarki absolut, Inggris kemudian membangun pemerintahan sipil dengan tetap menjaga sistem monarki sebagai basis budaya tata pemerintahan dan simbol kebangsaan mereka. Pemerintahan sipil Inggris yang terbentuk disusun berdasarkan kepentingan-kepentingan kelompok dengan berbagai tujuan.

Thomas Hobbes pada tahun 1651 menulis buku 'Leviathan' yang secara harafiah adalah suatu monster mengerikan, untuk menggambarkan suasana carut-marut di Inggris pada waktu itu. Munculah kemudian teori Kontrak Sosial yang dipelopori Thomas Hobbes ini.

Indonesia saat ini kurang lebih sama dengan apa yang terjadi di Inggris pada tahun 1650-an, dimana muncul sesuatu yang mengerikan di masyarakat kita, seperti monster, binatang buas, Leviathan.

Teori kontrak sosial yang seharusnya terjadi dan mampu menjadi jaminan terhadap adanya perubahan sosial politik, tidak sepenuhnya terjadi demikian. Elemen-elemen bangsa kita diadu domba oleh 'Invisible Hand' yang memunculkan Leviathan besar dan Leviathan kecil. Satu golongan mengancam golongan lainnya, dan tiba-tiba muncul ancaman lagi dari sesuatu hal yang baru.

Bentuk formal negara Indonesia memang bukan Monarki. Namun demikian, sejarah terbentuknya negara kita berasal dari kerajaan-kerajaan yang tersebar di Nusantara. Terbentuknya Indonesia sendiri sebagai sebuah Negara merupakan suatu keniscayaan kontrak sosial imajinasi kerajaan-kerajaan dan masyarakat adat di Nusantara.

Hal ini seperti ditulis oleh Benedict Anderson, 'Indonesia the Imagined Community', adalah fakta sejarah. Monarki sebagai sebuah bentuk negara dan sebuah sistem mungkin telah banyak ditinggalkan, namun demikian budaya feodal yang melekat dengan sistem monarki ini sulit untuk dirubah di negara Indonesia.

Kita lihat Presiden Soekarno yang diberi sebutan sebagai Yang Mulia Presiden. Bung Karno sebenarnya juga berusaha keras untuk membongkar konstruksi budaya ini dengan beliau lebih suka dipanggil 'Bung' daripada "Yang Mulia"

 Pandangan-pandangan politik Bung Karno ketika bertemu dengan para pemimpin dunia pada waktu itu pun jelas menunjukkan bahwa beliau adalah seseorang pemimpin republik yang tidak memuja kultur monarki ini. Presiden berikutnya yang benar-benar serius ingin membongkar kultur monarki di Republik Indonesia adalah Gus Dur, dengan upaya beliau untuk melakukan desakralisasi lembaga kepresidenan termasuk Istana Negara.

Saat ini, Presiden Jokowi yang merakyat juga seperti sosok antagonis bagi para penganut faham monarki dalam kultur birokrasi pemerintah. Pribadi beliau sebagai sosok presiden yang egaliter menjadi simbol perubahan budaya monarki dalam birokrasi pemerintah Republik Indonesia. Dalam sejarah Monarki, raja itu bukan tidak pernah dimanfaatkan oleh lingkungannya, bahkan posisi raja itu selalu dimanfaatkan oleh kepentingan-kepentingan orang yang ada disekeliling raja.

Islam di Tanah Air dalam sejarahnya menunjukkan gerakan sosial progresif yang berhasil mendobrak Monarki Mataram Hindu dan Majapahit. Mereka lebih cenderung sebagai gerakan sosial yang mengarah ke bentuk republik pada konteks politik jaman itu. Gerakan ini memulai perubahan dari kota pelabuhan dengan pemimpinnya sebagai seorang syahbandar yang sekaligus seorang pemimpin umat beragama.

Kemudian dari kota dermaga kecil yang mirip Hansestadt di Jerman terjadilah gerakan anti monarki yang dipimpin para Wali Songo. Sejarah pergerakan Islam di Nusantara inilah yang perlu menjadi contoh bagaimana sebuah sistem Monarki di runtuhkan di Nusantara melalui gerakan sosial berbasis relijiusitas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun