Setelah usia saya 36 tahun, saya baru menyadari ternyata saya hidup di sebuah negeri setengah tiang. Saya menyebut negeri saya ini negeri setengah tiang karena setahu saya saat negeri sedang dalam suasana berkabung biasanya bendera dikibarkan setengah tiang. Jadi maksud saya dengan negeri setengah tiang adalah negeri saya ini selalu -paling tidak sering- dalam keadaan berkabung.
Sebab berkabungnya negeri saya banyak macamnya. Pertikaian sesama warga, sesama pemeluk agama, dan antar pemeluk agama. Pertikaian antar suku, penduduk lokal dan pendatang, dan antar perkumpulan. Juga pertikaian sesama pelajar lain sekolah, sesama mahasiswa sekampus lain fakultas, dan antar mahasiswa lain kampus. Pertikaian-pertikaian ini tidak jarang yang memakan korban jiwa.
Kemudian keonaran-keonaran yang disebabkan oleh ormas-ormas beringas yang merasa paling benar dan merasa berhak mengatur jalannya peraturan-peraturan seolah-olah negeri ini tak mempunyai aparat penegak hukum. Mereka kerapkali menghakimi suatu golongan bersalah dan seolah-olah tak berhak menghirup udara di negeri saya sebelum golongan ini mengikuti jalan pikiran mereka.
Sebab berkabungnya negeri yang lainnya yakni maraknya tindak pidana korupsi. Sejak sebuah rezim otoriter berhasil digulingkan, tindak pidana korupsi dilakukan dengan lebih berani, secara massal dan terang-terangan. Alih-alih ingin menata negeri lebih baik, kini malah kian amburadul. Tak terhitung sudah para pelaku tindak pidana korupsi yang kabur ke negeri orang karena tak berfungsinya sistem pengamanan bagi para napi dan tahanan dengan baik. Tak terhitung pula uang negeri saya yang menguap entah kemana.
Banyaknya aparat penegak hukum yang mudah disuap juga menjadi salah satu penyebab negeri saya berkabung. Bayangkan, mereka yang diharapkan bisa menjadi pendekar-pendekar dalam penegakan hukum malah seperti macan ompong bila disodori segepok uang. Semestinya merekalah yang bertugas menjebloskan para pesakitan di ruang sidang, tapi malah mereka ikut-ikutan menjadi pesakitan. Benar-benar sakit!
Dan saat ini negeri saya sedang dikentuti oleh seorang koruptor yang selalu cengengesan bila ditanyai pemburu warta. Beberapa hakim, jaksa, dan polisi yang seharusnya bekerja sama untuk memotong lehernya, malah berhasil disuap. Mungkin karena jumlah uang yang dikorupsi mampu untuk menghidupi tujuh turunan.
Kini yang tengah menghangat ialah kasus TKI. Ini bukan lagi sekedar membuat negeri saya berkabung namun juga merendah harga diri sebagai sebuah bangsa. Sumiati menjadi TKI yang kesekian yang mengalami penyiksaan. Kimkim menambah kian panjang daftar TKI-TKI yang pulang ke tanah air hanya berupa jasad yang telah beku. Permasalahan mereka sering menjadi bahan perbincangan lalu kian hilang dari ingatan hingga kemudian muncul kembali ke permukaan. Sebuah lingkaran yang tak pernah berkesudahan.
Saya sebenarnya ingin menambah lebih banyak lagi penyebab berkabungnya negeri saya seperti nasib petani yang tak pernah beranjak karena hasil pertanian tak bisa menutupi biaya pengelolaan dan perawatan lahan dan tanaman. Anak-anak yang kurang gizi dan makan. Bencana alam yang menimpa secara beruntun. Dan entah apalagi.
Entah sampai kapan saya menjadi penduduk negeri setengah tiang ini. Pemangku tahta negeri telah berganti berkali-kali namun mereka tak membawa perubahan berarti. Padahal dulu -menurut para tetua- negeri saya ini amat disegani karena kepemimpinan nan gagah berani.
Semoga suasana berkabung ini akan segera berlalu walaupun saya tak mengalami.
-o0o-