Agustus lalu, petani di Pagaralam, Sumatera Selatan membuang tomat mereka ke jalan raya. Media massa memberitakan aksi itu sebagai ekspresi kekecewaan petani atas rendahnya harga tomat, Rp300 per kilogram.[1]
Ada benarnya. Menyiksa diri sendiri memang salah satu ekspresi protes manusia. Anak-anak menolak makan, merajuk sebab tidak diizinkan bermain saat waktu tidur siang. Lelaki mabuk-mabukkan demi menerbitkan rasa bersalah pada perempuan yang baru saja memutuskannya. Ataukah kekasih menolak bersetubuh---sekalipun hasrat gelinjang membara pada syaraf-syaraf di balik kulitnya---gara-gara memergokimu melempar senyum kepada mantan pacar semasa SMA dalam pesta reuni sekolah.
Akan tetapi, lebih tepat kiranya aksi buang tomat dipandang sebagai aksi sambil menyelam minum air. Selain ekspresi protes agar mendapat perhatian pemerintah, aksi membuang tomat ke jalan raya juga bentuk  perlindungan 'nilai pasar' (harga) komoditas mereka.
Tenaga kerja, labour power, sejatinya komoditas pula. Komoditas adalah produk yang dipertukarkan. Karenanya komoditas mengandung dua nilai: nilai pakai dan nilai tukar.
Kerja adalah tindakan pekerja mengubah atau memanfaatkan nilai pakai objek kerja (bahan baku) dan alat untuk menciptakan nilai pakai baru.
Mas Jono, si penjaja tahu goreng kaki lima mengerahkan tenaga kerja---daya di dalam dirinya, nilai pakainya---untuk menciptakan nilai pakai baru, yaitu tahu goreng, dari nilai pakai objek kerja (tahu mentah, minyak goreng, minyak tanah) dan nilai pakai peralatan (kompor, wajan, sutil, dll).
Oleh kerja Mas Jono, nilai pakai bahan-bahan baku (objek kerja) melebur seluruhnya ke dalam wujud baru: tahu goreng. Oleh kerja Mas Jono pula, nilai pakai peralatan dimanfaatkan, diambil sebagian demi sebagian hingga suatu saat tersisa nol (depresiasi), alat-alat kerja itu jadi rongsokan yang berakhir di gerobak keliling Cak Tarno, pengepul besi tua.
Tanpa kerja Mas Jono maka kompor, tahu, tepung, dan lain-lain alat dan bahan tidak akan menghasilkan nilai pakai yang baru. Artinya, adalah kerja manusia faktor terpenting penciptaan nilai pakai itu.
Tenaga kerja itu jugalah satuan dasar penentu nilai tukar komoditas.
Nilai komoditas pada dasarnya merupakan penjumlahan waktu kerja yang dibutuhkan untuk menghasilkannya. Waktu dalam konteks ini adalah penjumlahan waktu kerja secara sosial--socially necessary abstract labor--bukan subjektif kasuistik. Nilai sejati atau nilai natural tomat adalah banyaknya waktu sosial yang petani keluarkan untuk membudidayakannya, ditambah banyaknya waktu yang buruh keluarkan untuk memproduksi alat-alat kerja dan input lain (pupuk, obat-obatan, benih) yang dilibatkan dalam budidaya tomat.
Selengkapnya tentang teori nilai, sobat dapat membacanya di dalam Kapital Volume I, Bagian I, Seksi 1 sampai 4. Tetapi jangan salah sangka, Marx bukanlah yang mula-mula mengembangkan teori nilai kerja. Ia hanya menyempurnakan--juga meluruskan yang bengkok--karya Smith dan Ricardo.
Dalam konteks labour power (Arbeitskraft) sebagai komoditas, seorang berpendidikan tinggi atau buruh yang sudah bertahun-tahun bekerja di bidang serupa cenderung berupah lebih tinggi karena akumulasi waktu yang telah diinvestasikan (study ataukah pengalaman kerja) untuk membentuk kapasitas labour power yang mereka tawarkan. Pengetahuan dan keahlian adalah onderdil yang melekat pada labour power.