Mohon tunggu...
George
George Mohon Tunggu... Konsultan - https://omgege.com/

https://omgege.com/

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Diskon Lahan untuk Investor Asing, Jokowi Versus Hasto soal Kapitalisme

1 Juli 2020   17:37 Diperbarui: 1 Juli 2020   17:56 742
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Joko Widodo, Hasto Kristiyanto, Yasonna, Tjahjo Kumolo [ANTARA FOTO/NYOMAN BUDHIANA via Kompas.com] Kawan Separtai (dan seideologi?)

"Dari berbagai hal yang menjadi persoalan pokok, itu terjadi karena Pancasila kehilangan watak progresifnya. ... Maka, konsolidasi demokrasi melalui pembumian sistem politik Pancasila dan merancang kembali sistem perekonomian nasional yang sesuai dengan spirit Pasal 33 UUD NRI Tahun 1945 harus ditempatkan sebagai skala prioritas" -- Hasto Kristiyanto, Sekjend PDIP

Itu tadi kata Pak Hasto, Sekjend PDIP, belum lama ini dalam acara diskusi virtual, Kamis (18/6/2020).[1]

Baru saja, kader PDIP yang kebetulan jadi Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo berpesan kepada menteri-menterinya,

"Oleh sebab itu tadi saya sudah perintahkan kepada menteri, kepada Kepala BKPM, untuk industri-industri yang akan relokasi dari Tiongkok ke Indonesia, baik itu dari Jepang, dari Taiwan, dari Korea, dari Amerika, dari negara manapun, berikan pelayanan yang sebaik-baiknya."[2]

Yang Presiden maksud sebagai pelayanan sebaik-baiknya adalah memberi harga termurah, separuh harga tawaran negara lain, kepada kapitalis yang hendak relokasi pabrik dari China, Taiwan, Jepang, Amerika Serikat, dan negara-negara lain.[3]

Pelayanan sebaik-baiknya adalah membantu proses perizinan, bila perlu para kapitalis itu tinggal masuk saja.

"Misalnya ada yang mau pindah tadi, LG mau pindah besok, sudah langsung masuk. Enggak usah ngurus apa-apa. Nanti yang ngurus semuanya dari Kepala BKPM (Badan Koordinasi Penanaman Modal). Tentu saja nanti dibantu gubernur dan bupati yang ada di sini."[4]

Saya tidak sedang mengkritik Presiden Jokowi. Sebagai pemerintahan berperspektif kapitalis -- yang mengimani modal internasional sebagai satu-satunya harapan -- kebijakannya sudah benar.

Presiden Jokowi harus adu servis melawan presiden negara-negara lain dalam memikat hati para investor agar singgah menanam modal di Indonesia. Berbagai jenis insentif disodorkan, semoga lebih manis dari tawaran negara kompetitor.

"Kemari, Tuan, silakan, punya kami paling murah. Di tempat kami paling mudah."

Sebagian negara bahkan rela main curang. Saya pernah menulis dugaan manipulasi beasiswa magang pemerintah Taiwan demi mendapat buruh murah bagi industri padat teknologi yang mereka harapkan tertarik pindah dari Tiongkok daratan ke Pulau Formosa (Baca: "Kuli atau Kuliah? Modus Taiwan Impor Buruh Murah")

Jangan sampai kita kalah dari Taiwan. Seperti kata Presiden Jokowi, ada 119 perusahaan hendak relokasi dari China. Harus direbut. Jangan sampai gagal lagi seperti tempo hari, 33 perusahaan yang relokasi dari Tiongkok, tiada satu yang menyinggahi negeri kita.

Tiongkok memang sedang menjengkelkan, tidak lagi semurah-hati dulu terhadap para kapitalis. Partai Komunis Tiongkok secara konsisten menaikkan upah buruh, dari tahun ke tahun.[5] Demi tetap untung, kapitalis harus cari tempat baru yang murah meriah.

Saya jadi teringat cerita kawan tentang para mucikari di Jalan ***** yang berlomba-lomba banting harga perempuan-perempuan binaannya demi seorang-dua turis back packer rela singgah barang kali sejam.

Saya juga teringat kisah yang ditulis Mangunwijaya dalam Ikan- Ikan Hiu, Ido, Homa, atau cerita Kura-Kura Berjanggut buatan Azhari Aiyub.

Di zaman dahulu, raja-raja Nusantara menerima rupa-rupa hadiah dari pedagang Turki, Portugis, Inggris, Spanyol, Belanda, dan banyak lainnya. Hadiah itu bertukar izin berlabuh dan membeli rempah-rempah dan rupa-rupa hasil bumi rakyat nusantara.

Zaman berubah. Kini para kapitalis itulah pedagang sekaligus raja-rajanya. Kitalah yang menawarkan mereka rupa-rupa hadiah agar mau labuhkan duitnya di negeri kita.

Saya tidak mengkritik Presiden Jokowi untuk kebijakan itu. Sekali lagi, sebagai pemerintah pendukung kapitalisme, sudah benar tindakannya.

Pendapatan negara boleh saja berkurang dari diskon sewa lapak kawasan industri. Sepotong hutan dan sungai boleh saja rusak demi kemudahan izin. Tetapi kita akan menikmati efek dominonya.

Investasi berarti pabrik-pabrik, perekrutan buruh-buruh, berarti upah, berarti daya beli. Selanjutnya lebih banyak barang dibeli, pabrik-pabrik lain beroperasi, lebih banyak buruh punya uang.

Investasi dan buruh-buruh yang punya uang juga berarti warung, kos-kosan, binatu, panti pijat, ojek, dan lain-lain usaha rakyat berkembang.

Saya cuma berharap dua hal dari itu.

Pertama, baiklah sewa lapak kawasan industri dikorting separuh demi pabrik-pabrik yang lari dari Tiongkok. Tetapi jangan pula upah buruh kena diskon; janganlah buruh yang ditumbali -- seperti semangat draft RUU Cipta Kerja dahulu -- sebagai pemanis rayuan kita kepada tuan-tuan pemilik modal. Biarlahterjaga batas pemisah antara pemerintah dan mucikari; antara pimpin dan pimping.

Kedua. Bukannya saya tidak hormati Sila Kedua Pancasila, prinsip kemanusiaan atau internasionalisme itu. Tetapi harapan saya, cukup modal-modal asing itu yang masuk, jangan pula kuli mereka. Biarlah kuli tetap bangsa sendiri.

Saya ingat, Mangunwijaya pernah menyindir negeri sendiri sebagai bangsa kuli dan kuli di antara bangsa-bangsa. Yah. Jika cuma demikian predikat kita, biarlah tetap begitu. Jangan sampai kuli pun harus orang asing. Lalu bagian kita apa?

Memahami langkah Presiden Jokowi bukan berarti saya bersikap layaknya --seperti sindirian Slavoj Zizek -- leftist fukuyamaist. Bukan berarti saya sedang mempromosikan kapitulasi ideologis, bahwa tak ada jalan lain selain bersama Jokowi menyerah pasrah pada jalan ekonomi pasar bebas.

Dalam konteks artikel ini saya cuma jatuh iba kepada teman-teman PDIP. Saya juga penasaran, bagaimana Pak Hasto dan kawan-kawannya bisa tetap percaya diri mengusung nama Sukarno, dan berteriak-teriak tentang hakikat Pancasila yang pada dasarnya anti-kapitalisme?

Belum lama berlalu saya tulis artikel "Socio-demokrasi, Ketika Soekarno Mendahului Badiou, Zizek, Laclau, dan Mouffe".

Dalam artikel itu saya sisipkan kutipan pernyataan Sukarno dalam Mentjapai Indonesi Merdeka, tentang Indonesia masa depan yang ia cita-citakan.

"Tidak boleh ada satu perusahaan lagi yang secara kapitalistis menggemukkan kantong seseorang boerjuis ataupun menggemukkan kantong burgerlijke staat, tetapi masyarakatnya Politiek-Economische Republik Indonesia adalah gambarnya satu kerukunan Rakyat, satu pekerjaan bersama dari Rakyat, satu kesama-rasa-rataan daripada Rakyat."

Gagasan Sukarno sudah tumpas, dibunuh pemerintahan parpol yang mengklaim menjadikan marhaenisme sebagai teori perjuangan.

Hhhh. Kelak jika bertemu kader-kader progresif PDIP, seperti Rieke Diah Pitaloka, kalau ia bicara tentang perlawanan terhadap kapitalisme, saya akan tatap dalam-dalam matanya, mendekat lalu berbisik ke kupingnya, "Lu, lagi ngeprank gue ya, Oneng?"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun