Anggaplah kita boleh pakai kata anarki sesuka hati seturut ilmu asal kata. An 'tanpa' dan arkhos 'ketua'. Maka sepak terjang sejumlah bupati dalam memerangi pandemi covid-19 boleh kita sebut anarkis. Mereka bertindak layaknya tak punya gubernur atau presiden, Â sesuka hati seturut cakrawala pikiran sempit parokial administratif masing-masing.
Barusan saya baca di media lokal Vox NTT, artikel berjudul "Jasa Angkutan di Flores Bingung: Rapid Test Mahal Hingga Perbedaan Aturan Daerah". Diberitakan, Tuan Kun Dey, salah seorang pengusaha jasa angkutan sembako lintas pulau mengeluh bingung oleh aturan kekarantinaan yang berbeda-beda antarkabupaten di Flores dan menyulitkan awak angkutannya.
Perusahaan Tuan Kun, LFR Trans, melayani jasa pengiriman komoditi pertanian--paling banyak pisang dan beras--antarkabupaten di Flores, juga antara kabupaten-kabupaten di Flores dengan kota-kota di Jawa dan Bali.
Akhir-akhir ini, ketika pemkab-pemkab di Flores tiba-tiba rajin mengeluarkan kebijakan kekarantinaan wilayahnya, Tuan Kun menjadi pusing. Tiap-tiap kabupaten punya kebijakan berbeda.
Sepanjang perjalanan dari Jawa, Bali, dan Labuan Bajo, awak transporasi Tuan Kun hanya diperiksa suhu tubuhnya. Perjalanan lancar jaya. Tiba di Manggarai, mereka harus menjalani rapid test. Untuk itu mereka dikenakan biaya Rp 600.000 per orang. Jika dalam satu truk ada tiga awak, perusahaan harus keluarkan ongkos Rp 1.800.000.
Soal duit, Tuan Kun belum terlalu keberatan. Tetapi tuan Kun tidak habis pikir, masuk wilayah Kabupaten Ngada, tetangga kabupaten Manggarai, truk-nya disuruh ganti supir. Supir yang baru harus penduduk setempat. Padahal hasil rapid test awak angkutannya non-reaktif.
Aneh memang. Kalau seperti ini, untuk apa perusahaan Tuan Kun dibebani biaya rapid test Rp 600.000 per awak?
Itu berarti uang Rp 600.000 yang dikeluarkan perusahaan Tuan Kun seperti membeli kentut saja. Sekali berbunyi lalu menguap entah ke mana. Manfaatnya tidak ia rasakan.
Lebih merugikan lagi, menurut Tuan Kun, pergantian supir berisiko terhadap keamanan barang angkutan.
"Kami bingung, kalau mengganti sopir seperti yang terjadi di Ngada, siapa yang bertanggung jawab kalau ada barang yang hilang atau rusak," keluh Tuan Kun.