"Artinya, sampai ditemukannya vaksin yang efektif, kita harus hidup berdamai dengan Covid-19 untuk beberapa waktu ke depan," kata Presiden Joko Widodo dalam video unggahan Sekretariat Presiden, Kamis, 7 Mei ini.[1]
Mula-mula membaca kabar itu, istri saya sangat jengkel. Ya, semua orang akan begitu saat pertama kali membacanya. Syukurlah kejengkelan itu tidak istri saya lampiaskan dengan membatalkan rencana membuat panekuk labu pagi ini.
Saya tidak terlalu menanggapi omelannya terhadap pernyataan Presiden. Dalam hati saya membatin, "Untunglah rencana saya menulis artikel dan pesan berjudul serupa, 'Hidup Aman di Tengah Pandemi' batal."
Tetapi mengingat Presiden Joko Widodo sudah sampaikan ini, saya jadi punya bumper untuk menulisnya. Jika orang marah, Pak Jokowi yang akan jadi sasaran.
Begini ...
Kalau pernyataan Pak Jokowi diihat utuh, kita akan mengerti konteksnya. Ia katakan demikian dalam konteks selama vaksin virus SARS-CoV-2 belum ditemukan. Artinya hingga vaksin ini kelak ditemukan dan disuntikkan di paha--kalau di bahu bisa merusak tatoo--seluruh rakyat, kita memang harus 'gencatan senjata sementara' dengan virus corona.
Dalam hal ini, Presiden hanya mengajak kita untuk realistis. Itu lebih baik dibandingkan bisikan angin surga dan lontaran janji-janji yang tidak bisa dipenuhi atau sebaliknya menutup-nutupi kenyataan.
Menyesuaikan kehidupan, mengubah kebiasaan-kebiasaan, membuang sejumlah onderdil dari zona nyaman kita, boleh diwakili oleh frasa berdamai dengan corona.
Istilah berdamai dengan corona atau berdamai dengan bencana bukan baru dalam dunia respon kebencanaan.
Satu dekade lalu, saat jadi kuli sebagai editor majalah sebuah lembaga non-pemerintah yang mengurusi isu kebijakan kebencanaan, saya sering berjumpa dengan istilah ini. "Hidup aman bersama bencana," bunyi tepatnya.