Mohon tunggu...
George
George Mohon Tunggu... Konsultan - https://omgege.com/

https://omgege.com/

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Ogah Kayak India? Tempuh Opsi Distribusi Beras a la Buwas, Bukan Darurat Sipil

1 April 2020   06:07 Diperbarui: 2 Mei 2020   02:05 420
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bicara tentang  persediaan, sistem, mekanisme, dan aparatus distribusi pangan, saya jadi teringat wacana yang tahun-tahun sebelumnya dilontarkan Budi Waseso, Kepala Bulog itu.

Anda mungkin ingat perselisihan panas antara Kabulog Budi Waseso dengan Menteri Perdagangan asal Nasdem dahulu, Enggartiasto Lukita.

Sudah pernah saya bahas dalam "Polemik Impor Beras Buwas versus Enggar, Ini Duduk Perkaranya," perdebatan Buwas versus Enggar itu adalah pertentangan dua haluan politik distribusi beras, antara kubu hardcore ekonomi pasar yang diwakili Enggar melawan haluan ekonomi terencana a la Buwas.

Bagi Enggar yang ingin beras diperlakukan sama dengan komoditi seperti kutang, odol, kupat tahu, dll,  harga selalu menjadi sinyal kelangkaan. Asumsi Enggar, pasar terbuka selalu merupakan saluran perdagangan paling efisien. Kalau harga naik, berarti ada problem dengan ketersediaan. Maka operasi pasar yang ditempuh.

Sebaliknya Buwas paham ada problem dengan pasar gara-gara keberadaan para mafia yang mendulang untung dengan cara mempermainkan pasokan. Karenanya Buwas menghendaki rantai perdagangan beras ditempatkan dalam aquarium, harus terang-benderang terlihat ada berapa kilogram di mana.

Jalan yang Buwas tawarkan adalah memperlakukan perdagangan beras seperti minyak tanah. Beras dijual di kios-kios yang jadi mintra Bulog, yang berada di setiap tingkat komunitas Rukun Tetangga. Bila perlu, seperti pemasaran mitan era Megawati, diberlakukan sistem kupon.

Dengan jalan demikian, bukan saja kebutuhan beras per kapita, per satuan wilayah terkecil hingga senasional bisa dipetakan dengan jelas; ketersediaan beras pun dekat dengan rakyat---bukan menumpuk memenuhi gudang Bulog--dan harga dapat dikendalikan. Begitu terjadi kelangkaan, bisa segera ditemukan titik mampetnya ada di mana; ekskusi perbaikannya bisa cepat dilakukan.

Memang, peralihan sistem pasar beras terbuka menjadi mekanisme semi-distribusi tertutup a la Buwas berdampak dislokasi di mata rantai pedagang pangan.

Tetapi pemerintah harus berani tega 'korbankan" ratusan pedangan besar beras, dan mungkin ribuan pedagang di wilayah hilir demi nasip ratusan juta rakyat Indonesia. Lagi pula para pedagang besar beras bisa disuruh alih profesi yang lebih produktif dan menciptakan nilai tambah, misalnya berinvestasi membuka lahan pertanian.

Kondisi darurat kesehatan masyarakat seperti sekarang ini, yang menuntut langkah pembatasan sosial skala besar, karantina, hingga isolasi wilayah membuktikan pentingnya usulan Buwas.

Andai dahulu usulan Buwas ini diterima, depo pemasaran beras (yang dikucurkan dari gudang Bulog/dolok) sudah berdiri di tiap RT. Pasokan di depo-depo itu---karena terencana dengan dengan demikian terkalkulasi dengan baik---sudah pas untuk kebutuhan tiap kapita di RT bersangkutan untuk jangka waktu misalnya sebulan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun