Value Chain Development, 'pengembangan rantai nilai' adalah salah satu pendekatan dalam peningkatan kesejahteraan petani.
Banyak yang menyangka pendekatan ini semata-mata mengutak-atik rantai nilai melalui introdusir supporting system baru; pengembangan model bisnis simbiosis mutualisme antar-aktor  yang lebih pro-petani; atau pemangkasan rantai suplai agar efisien dan lebih menguntungkan petani.
Padahal, hemat saya, faktor terpenting dalam pengembangan rantai nilai adalah peningkatan kapasitas petani yang selanjutnya berdampak peningkatan peran dan kontrol mereka dalam rantai nilai.Â
Peningkatan kapasitas, bahkan tanpa peningkatan peran dan kontrol sekalipun, bisa meningkatkan porsi pendapatan petani dari setiap tahap penciptaan nilai, sejak di tangan produsen sejati hingga tiba ke tangan konsumen akhir.
Karena itu, memahami posisi petani dalam rantai nilai yang existing adalah salah satu komponen terpenting pengembangan rantai nilai.
Kiranya ada empat level posisi petani dalam pengembangan rantai nilai, yaitu chain actors, chain partners, chain activity integrators, dan chain co-owners.Â
Istilah-istilah ini saya pinjam dari buku "Chain empowerment: Supporting African farmers to develop markets" yang diterbitkan KIT, Faida MaLi and IIRR pada 2006 silam.
Pertama, petani sebagai chain actors.
Chain actor adalah posisi terlemah petani. Umumnya petani Indonesia, terutama rumah tangga petani kecil subsisten berada di posisi ini.
Sebagai chain actor, petani nyaris tidak punya kontrol sama sekali terhadap rantai nilai, memiliki informasi yang sangat terbatas tentang pasar, dan menjadi price taker yang pasrah.
Seringkali para organizer tani atau lembaga-lembaga swadaya masyarakat yang bergerak di bidang pemberdayaan petani memecahkan problem petani chain actor dengan buru-buru mendorong integrasi horizontal melalui pembentukan kelompok tani atau koperasi produsen.