Mohon tunggu...
George
George Mohon Tunggu... Konsultan - https://omgege.com/

https://omgege.com/

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Ambang Batas Parlemen 7 Persen, Taktik Oligarki Menjaga Soliditas

12 Maret 2020   08:59 Diperbarui: 12 Maret 2020   10:34 1473
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Oligarki [dellfranklin.com]

Bahwa panggung politik Indonesia ibarat panggung pertunjukan wayang-wayang yang dikendalikan elit-elit ekonomi pamuncak (oligark), sudah bukan rahasia lagi. Hal ini dibicarakan dengan terang benderang sejak di obrolan kafe remang-remang para politisi hingga studi-studi serius.

Di antara sekian banyak studi tentang kekuasaan oligark di Indonesia, beberapa yang bagus untuk dibaca dan bisa diakses daring---jika Anda ingin membacanya---adalah Reorganising Power in Indonesia: The Politics of Oligarchy in an Age of Markets (Richard Robison dan Vedi  Hadiz) ,"Oligarchy and Democracy in Indonesia" (Jeffry Winters); hingga yang terbaru adalah disertasi doktoral Boni Hargens, Oligarchic Cartelization in Post-Suharto Indonesia.

Kalau mengacu pada Winters---terlepas dari cara pandangnya yang non-Marxian--oligark adalah para aktor yang mengontrol konsentrasi masif sumber daya material dan menggunakannya untuk mempertahankan atau meningkatkan kekayaan dan posisi sosial mereka yang eksklusif (Winters, Oligarchy, hal 6).

Sementara oligarki adalah sistem yang melindungi kepentingan tersebut, kepentingan mempertahankan kekayaan dan posisi istimewa mereka. Upaya mempertahankan kekayaan itu bersifat umum (untuk kepentingan seluruh oligark) berupa mempertahankan klaim dan hak atas properti dan kekayaan mereka; dan bersifat individual berupa menjaga sebanyak mungkin aliran kekayaan dan keuntungan ke oligark tertentu.

Secara sederhana, oligarki adalah pemerintahan (arkho) oleh sedikit (oligos) orang. Orang-orang yang sedikit itu adalah elit-elit pamuncak ekonomi. Dalam mengendalikan alat-alat kekuasaan (beragam subsistem negara) mereka bisa muncul terang-terangan (sebagai pemimpin parpol, presiden, atau menteri), tetapi lebih sering bermain di belakang layar.

Tentu saja oligarki adalah kenyataan yang biasa saja dalam negara kapitalis (strukturalis) pun pada 'negara-dalam-masyarakat-kapitalis' (instrumentalis). Ia adalah kediktatoran kapitalis yang bersembunyi di balik---sekaligus membentengi diri dengan---demokrasi prosedural; tetapi juga yang diam-dalam gelap menikam prosedur-prosedur demokratis.

Mungkin yang perlu ditambahkan dari beragam teori kekuasan oligarki, hemat saya adalah tidak selalu kekuasaan negara berjalan 1oo% menurut kehendak dan skenario para oligark. Kekuasaan negara sebagai medan pertarungan sosial selalu terbuka bagi pengaruh aktor-aktor lain (tentu saja dalam derajat berbeda-beda, bukan setara seperti delusi kaum pluralis), mulai dari para kapitalis umum hingga rakyat melalui organisasi-organisasi massa dan beragam mekanisme legal kontrol antarcabang-cabang kekuasaan. Selain itu, negara sendiri memiliki otonomi relatif yang sewaktu-waktu dapat bertindak melampaui atau bertentangan dengan kehendak para oligark sebagai kapitalis individual.

Tetapi baiklah paragraf yang barusan tidak kita bahas di sini.

Menarik membaca manuver para elit politik (mereka bisa jadi bagian, bisa pula bukan dari oligark) untuk mempersempit ruang demokrasi di parlemen melalui peningkatan ambang batas parlemen. Manuver ini diinisiasi Surya Paloh, juragan media yang jadi majikan (yang legal muncul di permukaan)  Partai Nasdem, dan segera disambut saudara-saudara ideologisnya di Golkar.

Sabagai awam ilmu politik kuliahan, saya tidak berani mengatakan apakah pendekatan partai kartel dan oligarki yang digunakan Boni Hargens dalam disertasinya---yang membahas proses legislasi menghasilkan presidential threshold 2017 silam sebagai wujud kepentingan oligarki---boleh digunakan untuk menjelaskan manuver ambang batas perlemen yang baru ini.  Saya masih harus membaca ulang disertasi Boni agar sungguh paham.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun