"Kurangi Jam Kerja, Perbanyak Bercinta," demikian bunyi poster para buruh media dan industri kreatif saat terlibat dalam perayaan May Day, 'Hari Buruh Internasional' 2017.
Bercinta yang dimaksud buruh-buruh Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif (Sindikasi) adalah waktu yang dibutuhkan untuk pemenuhan kebutuhan afeksi, baik untuk merawat diri, mengurus keluarga, atau membelanjakan waktu bersama teman.
Protes terhadap kurangnya "waktu bercinta" diangkat para buruh media massa dan industri kreatif berlatar belakang problem khas sektor mereka.Â
Menurut Ellena Ekarahendy, Ketua Sindikasi saat itu, buruh media dan industri kreatif sering bekerja melampaui jam kerja normal (8 jam sehari) tanpa mendapatkan uang lembur. Seringkali untuk memenuhi tenggat, mereka bekerja hingga 12 jam (Suara.com, 01/05/2017 ).
Sebenarnya tuntutan atas lebih banyak waktu bagi pemenuhan kebutuhan afeksi bukan monopoli buruh media massa dan pekerja kreatif. Perlawanan buruh perempuan terhadap panjangnya jam kerja, yang menjadikan mereka kuda beban pemikul dua karung berat: kerja di pabrik dan beban domestik, sudah dimulai sejak awal 1900an, sebelum Perang Dunia Pertama pecah.
Theresa Malkiel, salah satu tokoh terpenting di balik tercetusnya Hari Perempuan Internasional (pernah saya singgung dalam cerpen "IWD dan Para Perempuan 1917"), menggambarkan perlawanan buruh perempuan era awal 1900an dalam novelnya, "The Diary of a Shirtwaist Worker".
Penggalan berikut (dari halaman 44) menjelaskan kondisi yang dihadapi kaum perempuan saat itu.
"Kemudian dia menoleh kepada kami, massa pemogokan, dan berkata, perempuan hari ini mengalami perbudakan dua kali lipat oleh beban tugas ganda. Sungguh tak pantas kaum perempuan menghabiskan 10 jam sehari di hadapan mesin. Hanya orang-orang tanpa kesadaran yang menganggap wajar 52 jam kerja sehari. Tetapi dia lalu berkata, "Pada akhirnya demarkasi ditegaskan, bahkan para perempuan paling lemah di antara yang terlemah telah bangkit dalam pemberontakan melawan penindasan ini. Dan seperti halnya melalui kaum perempuan kehidupan itu datang, demikian pula melalui perempuan pula pembebasan akan tiba."
Kondisi ini merupakan konsekuensi dari kapitalisme yang memaksa perempuan dari rumah tangga kelas pekerja meninggalkan sejenak dapur-kasur-sumur untuk mem-back-up 'tugas lelaki' demi menjaga tingkat kesejahteraan. Tetapi pada saat yang sama, feodalisme---dengan karakter patriarkisnya---enggan melepas bekap eratnya pada kaum perempuan, membuat buruh perempuan terus menggendong tanggung jawab domestik ke mana-mana.