Hampir 20 tahun lalu saya aktif sebentar di kepengurusan pusat serikat buruh. Front Nasional Perjuangan Buruh Indonesia (FNPBI) namanya. Sebuah serikat yang cetar membahana di masanya, tubuh baru Pusat Perjuangan Buruh Indonesia (PPBI) yang dulu memimpin kelas pekerja melawan Orde Baru.
Saat itu Ketumnya Dita Indah Sari, kala itu salah satu tokoh terkemuka perjuangan buruh Indonesia--sebelum akhirnya jadi orang pemerintah, staf Hanif Dhakiri di pemerintahan pertama Jokowi. Sekjendnya Ilhamsyah, uda jagoan bikin rendang yang kini memimpin Konfederasi Perjuangan Buruh Indonesia (KPBI).
Di tempatkan di Departemen Pendidikan dan Bacaan, membantu Katuas Dominggus Kiik (Sekjend PRD kini), tugas saya selain bikin pendidikan untuk buruh, adalah banyak-banyak membaca agar bisa menulis untuk Seruan Buruh, majalah reguler FNPBI. Saya masih ingat, salah satu problem global buruh sedunia saat itu adalah maraknya praktik sweatshop di dunia, terutama di negara-negara berkembang.
Aslinya sweatshop, dalam konteks negara maju, adalah sebutan bagi pabrik-pabrik ilegal, tersembunyi di kawasan perumahan warga, yang mempekerjakan buruh dengan jam kerja tidak manusia dan upah sangat rendah. Banyak di antara buruh-buruh itu adalah korban human trafficking.
Tetapi di Indonesia dan banyak negara berkembang lain, pabrik-pabrik besar dan resmi di kawasan-kawasan Industri berpraktik a la sweatshop. Itu sebabnya istilah sweatshop tidak terlalu populer di Indonesia, ia kenyataan umum kondisi pabrik-pabrik, terutama sektor TSK.
Gara-gara praktik sweatshop di Indonesia inilah, 18 tahun silam, Februari 2002 Dita Indah Sari menolak Reebok Human Rights Awards, sebuah penghargaan senilai 50.000 ribu dollar untuk aktivis Hak Asasi Manusia.
Reebok, perusahaan papan atas produsen pakaian olahraga asal Amerika Serikat ini ambil untung dari praktik sweatshop di Indonesia. Sejumlah perusahaan Indonesia mendapatkan subkontrak produksi Reebok dari Dung Jo, Tong Yang, dan sejumlah lainnya perusahaan di Korsel. Di Indonesia, pabrik-pabrik subkontrak Reebok itu membayar buruh tidak sampai 1,5 dolar per hari dengan jam kerja panjang, lembur yang tidak manusiawi.
Reebok bukan satu-satunya perusahaan yang melakukan itu.
Sekitar tahun itu pula, sejumlah pengurus FNPBI--yang saya ingat Agus Bobo, tua-tuanya KBUI yang hingga kini masih aktif di gerakan buruh-- membantu John Pilger bikin dokumenter "The New Rulers of The World."
Berpura-pura menjadi investor, Pilger mendatangi pabrik-pabrik yang mengerjakan order subkontrak merek-merek pakaian terkemuka, seperti Nike, GAP, Adidas, dan Reebok.