Beberapa hari lagi "The Call of the Wild" akan tayang di jaringan bioskop di Indonesia. Di situs milik Cinepolis, terpatri tanggal 21 Februari. Meski tidak ada keterangan tanggal di situs Sinemaplex, kita boleh menduga tanggal tayangnya juga 21 Februari, seperti saingannya.
"The Call of the Wild" adalah film bergenre petualangan yang diperuntukkan semua usia. Boleh dibilang, karakter utamanya adalah Buck, seekor anjing jenis St. Bernard--dalam versi 2020 ini merupakan CGI--dan John Thornton, petualang yang jadi sahabat baru Buck.
Buck yang mula-mula anjing rumahan tiba-tiba harus menyesuaikan diri dengan lingkungan yang keras ketika ia diculik dan dibawa ke belantara Yukon di Alaska yang diselalu diselimuti salju. Buck menjadi anjing penarik kereta salju bagi para pekerja tambang emas di sana.
Di Yukon, Buck terlibat persahabatan tulus antar-spesies dengan John Thornton (diperankan Harrison Ford), Â seorang yang sejatinya pergi ke Yukon lebih karena kepentingan mencari ketenangan dibandingkan menambang emas. Â Buck dan John saling membantu dan melindungi dalam petualangan mereka di tengah kerasnya alam. Di ujung, keduanya keluar sebagai individu-individu yang menemukan jati diri sejati.
Film ini adalah adaptasi novel klasik berjudul serupa, ditulis Jack London dan terbit perdana pada 1903. Sudah sangat tua. Yang menarik, ini bukan adaptasi film pertama novel itu. Adaptasi film pertama novel ini adalah pada 1923 di era film bisu. Ketika teknologi perfilman sudah bisa menyatukan gambar dan suara, " The Call of the Wild" diadaptasi tiga kali,  yaitu pada 1935, 1972, dan 1997. Dalam ketiga edisi itu, John Thronton diperankan oleh  Clark Gable, Charlton Heston dan Rutger Hauer.
Sependek pengetahuan saya, tidak banyak novel yang pernah diadaptasi sebanyak ini ke dalam film layar lebar. Hanya ada beberapa lainnya, seperti  "Les Miserables" (1862, Viktor Hugo); "The Junggle Book" (1894, Joseph Rudyard Kipling) , "Dracula" (1897, Bram Stoker),  "The Wonderful Wizard of Oz" (1900, L. Frank Baum) atau juga naskah drama seperti Hamllet, Macbeth, dan Romeo and Juliet.
Tentu saja hal ini bikin penasaran. Apa yang membuat "The Call of the Wild" sedemikian istimewa hingga ia bisa menyetarai sejumlah karya besar lain dalam jumlah adaptasi ke dalam film?
Apakah sesederhana alasan karena ia menghadirkan hewan peliharaan imut yang dicintai begitu banyak orang?
Saya kira tidak sesederhana itu.
Mungkin lebih pas menduga alasannya adalah karena " The Call of the Wild" menghadirkan kisah tentang cinta yang tulus, yang bukan cuma lintas-kultur, lintas-agama, lintas-ras, tetapi lintas-spesies.