Tidak cuma dalam bisnis, window dressing juga dipraktikkan dalam lapangan politik. Jika di dunia bisnis yang hal utama yang di-permak adalah neraca, laporan rugi laba, dan arus kas, maka dalam dunia politik hal yang biasanya diutak-atik para politisi yang sedang memerintah adalah angka pengangguran dan angka kemiskinan. Bersama dengan tingkat inflasi, dua hal tadi jadi patokan publik, terutama para pengamat dalam menilai kinerja pemerintah.
Jika window dressing dalam bisnis dilakukan menjelang tutup buku; dalam politik dan pemerintahan hal ini paling banyak dilakukan di tahun pemilihan atau setahun sebelumnya, tetapi sering pula dilakukan sesuai masa pengukuran oleh lembaga seperti BPS dan Bank Indonesia, misalnya pertriwulan, semester, per-tahun, atau per Maret dan September yang merupakan masa pengukuran kemiskinan BPS.
Untuk mengesankan jumlah penduduk miskin berkurang, pemerintah bisa mempercepat penyaluran program-program Bantuan Sosial, tunai pun non-tunai, seperti PKH, BPNT, Rasta, dan yang sejenisnya sebelum BPS melakukan pengukuran.Â
Beragam bansos ini meningkatkan daya beli masyarakat; mendongkrak tingkat pengeluaran mereka hingga mendekati  atau melampaui garis kemiskinan.Â
Peningkatan jumlah nominal dan penerima program pemberian uang tunai dan pangan menjelang masa pemilihan berdampak cukup besar untuk menekan angka kemiskinan. Hasilnya, pemerintah terkesan sukses kurangi jumlah penduduk miskin.
Seperti yang bisa kita baca dalam banyak berita, pada setiap pemberitaan atau rilis BPS disebutkan bahwa salah satu penyebab turunnya angka kemiskinan adalah realisasi bansos. Begitu pula pada keterangan pers BPS terkini tentang pengukuran kemiskinan per September 2019. (5)
Kepala BPS Suhariyanto menyebutkan, angka kemiskinan pada September 2019 sebesar 9,22 persen, turun 0,19 persen atau berkurang 358.900 jiwa dibandingkan Maret 2019. Ia menyebutkan empat faktor yang berkontribusi terhadap penurunan jumlah penduduk miskin pada periode tersebut.Â
Yang pertama adalah kenaikan upah nominal buruh dan buruh tani. Faktor kedua adalah peningkatan nilai tukar petani berturut-turut sepanjang Juli hingga September.Â
Ketiga adalah rendahnya angka inflasi secara umum selama Maret - September 2019 dan penurunan harga eceran sejumlah komoditas pangan. Faktor keempat adalah realisasi program Bantuan Pangan non-Tunai (BPNT) pada Triwulan III 2019 yang meningkat sebesar 289 kabupaten/kota dari Triwulan I 2019 menjadi 509 kabupaten/kota.
Kita patut berterima kasih atas kinerja pemerintah untuk tiga faktor pertama. Tetapi faktor keempat perlu menjadi catatan serius sebab menurut saya hal tersebut tidak sungguh-sungguh mengeluarkan rakyat dari kemiskinan.Â
Perbaikan tingkat kesejahteraan rakyat oleh adanya bantuan  seperti ini semu semata, tidak berbeda hakikatnya dengan pelaporan keuntungan oleh perusahaan asuransi Jiwasraya.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!