Tentu saja itu bukan berarti kebijakan dan pekerjaan keduanya memuaskan seluruh pihak.
Susi dan Ahok juga contoh tokoh yang tinggi spontanitasnya. Apa yang mereka rasa benar akan mereka lakukan dan katakan. Urusan kepantasan sebuah pernyataan dilontarkan sering tidak masuk prioritas pertimbangan mereka.Â
Tetapi pernyataan terakhir Ahok yang menyarankan rakyat percayakan penanganan banjir kepada Anies Baswedan telah membelah Ahok dan Susi ke dua kutup ideal sikap negarawan.
Kita tentu tahu, Susi Pudjiastuti sangat getol dan lantang mengkritik kebijakan penggantinya, Edhie Prabowo.Â
Banyak pernyataan pedas Susi lontarkan melalui akun media sosialnya, menyikapai wacana kebijakan ekspor benih lobster, penanganan kapal hasil sitaan dari nelayan asing, kekhawatiran mengutak-atik status teluk Benoa sebagai kawasan konservasi maritim, hingga yang terakhir aksi terobos nelayan Vietnam dan coast guard China terhadap wilayah ZEE Indonesia di perairan Natuna.
Kritik Susi terhadap sepak terjang Edhy Prabowo cukup merepotkan istana. Sampai-sampai tokoh-tokoh penting istana seperti Moeldoko dan Luhut Panjaitan harus bahu-membahu dengan para politisi Gerindra untuk membela Edhy Prabowo yang hanya dalam beberapa bulan sejak menjabat menteri sudah compang-camping profilnye oleh kritikan-kritikan Susi.
Apakah sikap Susi Pudjiastuti salah? Apakah seperti Ahok ia seharusnya menghindari berkomentar tentang problem-problem kelautan? Apakah ia juga harus bilang, percaya saja kepada Edhy Prabowo yang lebih pintar mengurui laut, ikan, dan nelayan?
Saya membela sikap Susi. Saya yakin, sebagaimana latar belakangnya yang sudah berkecimpung dengan dunia perikatan laut jauh sebelum menjadi menteri, problem kelautan dan industri perikanan adalah passion Susi.Â
Diangkat menjadi menteri KKP di era pertama pemerintahan Joko Widodo hanya membuat dirinya lebih sering berada di bawah sorotan kamera dan mungkin menambah wawasan serta keluasan dan kedetilan kepeduliannya terhadap berbagai urusan kelautan dan perikanan. Penggantian dirinya tidak mengurangi semua ketertarikan dan kepentingannya pada urusan itu.Â
Ya, sebagaimana kita tidak bisa melarang Alex Ferguson mengomentari dunia sepak bola dan perjalanan kekinian Manchester United, demikian pula tidak adil melarang Susi memperjuangkan keyakinannya terhadap kebijakan-kebijakan kelautan dan perikanannya serta menyuarakan keresahan-keresahaannya.
Lagi pula, semenjak Gerindra memilih bergabung ke pemerintahan dan menunjukan karakter sejati mereka sebagai juga kekuatan politik yang bahkan lebih  neoliberal dibandingkan kubu Joko Widodo yang dikritiknya -tampak melalui wacana pembukaan ekspor benih lobster-, publik butuh mencusuar baru; rakyat perlu "buzzer" kelas kakap agar keresahan-kerasahan mereka ikut tersuarakan di laman-laman surat kabar besar dan prime time news televisi.Â