Rasanya sungguh lega melihat kekuatan dan pengaruh para pengikut nilai-nilai kemanusiaan dan demokrasi Gusdur ini masih ada. Bagi saya keberadaan mereka adalah salah satu benteng yang mencegah negara ini punah.
Indonesia sebagai negara bisa saja punah jika kekuasaan negeri ini berada dalam kendali kelompok-kelompok intoleran, organisasi milisi berjubah agama yang kerab memaksakan kepentingannya dengan kekuatan massa, bahkan tak jarang membawa serta senjata dalam melakukan aksi main hakim sendiri terhadap kelompok lain yang tak mereka sukai.
Maka kehadiran organisasi pembela keberagaman dan kemanusiaan seperti Gusdurian adalah pengimbang organisasi-organisasi intoleran yang tampaknya kian kuat sebab kini bersekutu dengan kekuatan lama yang hendak merebut kekuasaan setelah 4 tahun lepas dari genggaman mereka.
Kita patut bersyukur bahwa Yenny Wahid dan Gusdurian tak memilih diam dalam pertarungan ini, dan dengan tepat melabuhkan pilihan politiknya pada Joko Widodo dalam pilpres 2019. Bagi saya, Jokowi dan Gus Dur memiliki prinsip dan nilai serupa: penghormatan terhadap kebhinekaan, kemanusiaan, demokrasi, dan kesetiaan kepada Pancasila.
Tentu saja saya berharap pilpres 2019 ini kembali dimenangkan Jokowi, agar dengan demikian negara tidak kalah dan pemerintah tidak bertekuk lutut di hadapan paham-paham asing pemaksa keseragaman.
Mengerikan membayangkan organisasi-organisasi milisi penyebar kebencian namun bertopeng panji-panji agama bertambah kuat dan kian semena-mena ketika yang jadi presiden 2019-2024 bukan lagi Joko Widodo. Melihat bagaimana ormas-ormas ini mendikte politisi yang mengemis-ngemis dukungan mereka dan menjual murah prinsip-prinsip luhur NKRI hanya demi dukungan suara, bulu kuduk saya merinding.
Sungguh, konsolidasi kekuatan Orba dan reaksioner sayap kanan jangan sampai berujung kemenangan. Jika itu sampai terjadi, Indonesia sebagai negara tak akan lagi hadir menjamin hak sipil-politik rakyatnya; negara memudar, punah.
Bagi saya, mendingan kita miskin namun memiliki kemerdekaan atas pikiran, prinsip, nilai-nilai, dan keyakinan, sebab dengan begitu kita masih manusia. Namun kita tak beda dengan binatang jika perut kita kenyang tetapi tak merdeka secara sipil-politik.
Kehidupan yang seperti binatang, ketiadaan kemanusiaan itu salah satu wujudnya seperti tragedi pemakaman di Yogya belum lama ini. Orang Kristen harus rela makamnya tanpa nisan salib dan jenazahnya tak didoakan. Kita tentu tak ingin kondisi ini terjadi di seantero Nusantara, bukan?
Inilah sebabnya para pejuang kemerdekaan kita sejenak berdamai dengan kolonialis Belanda ketika fasisme Jepang masuk. Bagi mereka, fasisme yang anti-demokrasi jauh lebih jahat dibandingkan kolonialis-kapitalis.
Sumber: