Sudah lama para pengejar rente menjadikan politik semata-mata urusan kekuasaan yang telanjang, bukan lagi kekuasaan sebagai sarana mewujudkan gagasan-gagasan akan kehidupan rakyat dan bangsa yang lebih baik.
Maka meraih simpati rakyat direduksi dari proses pembangunan kekuatan (machtsvorming) massa rakyat yang sadar menjadi semata-mata aksi tipu-tipu demi vote yang hanya dihargai sehari.
Hajatan politik elektoral berubah zero-sum game, win or lose. Beragam strategi-taktik dikembangkan sekedar demi kemenangan, sekalipun berprinsip konsekuensialis yang machevialian. Salah satunya adalah black propaganda alias kampanye hitam.
Tujuan kampanye hitam adalah demonization (demon=iblis), mendegradasi lawan dengan membuat karakter lawan tampak buruk di mata pemilih.
Dalam pilpres 2014, Joko Widodo di-blackprop sebagai seorang anti-Islam dan turunan PKI. Tabloid Obor Rakyat yang disebar masif di sejumlah pesantren menjadi alat utamanya.
Kini instrumen hukum, baik itu undang-undang sebagai landasan hingga polisi dan Bawaslu sebagai penegaknya telah cukup ketat mengontrol bentuk-bentuk kampanye hitam. Sudah banyak pelaku kampanye hitam yang akhirnya mendekam dalam penjara.
Rakyat juga sudah cukup waspada, mudah mengenali beragam bentuk kampanye hitam yang vulgar. Alih-alih termakan propaganda hitam, rakyat justru kian bersimpati terhadap korban.
Hal ini tampaknya membuat para pelaku strategi kampanye hitam mencari cara lain agar bisa lolos dari jerat hukum, juga agar tanpa sadar rakyat menerimanya.
Beredarnya alat peraga kampanye (APK) illegal berupa stiker, baliho, dan poster di Jawa Tengah diduga merupakan wujud jurus baru demonization terhadap Joko Widodo.
Dalam APK yang disebarluaskan di kabupaten/kota seantero Jawa Tengah itu, Joko Widodo digambarkan mengenakan mahkota dan baju kebesaran seorang raja.