Pada simulasi 10 kandidat, pilihan pemilih (responden sebagai sample yang merepresentasikan kecenderungan total pemilih) adalah Joko Widodo 53,3 persen; Prabowo Subianto 22 persen; 8 calon lain 12,1 persen; golput 0,7 persen, dan tidak jawab (masih ragu) 12 persen.
Ketika disaring lagi menjadi simulasi 2 kandidat, pilihan rakyat adalah Joko Widodo 58,2 persen; Prabowo Subianto 26,6 persen; golput 1,3 persen; tidak jawab (masih ragu) 13,9 persen.
Lihatlah, angka-angka berubah. Apa maksudnya?
Karena tokoh-tokohnya dikeluarkan dari simulasi (hingga pilpres hanya diikuti Jokowi dan Prabowo) pada pemilih 8 tokoh lain (12,1 persen atau sekitar 254 orang) akan mengalihkan pilihan mereka. Pengalihan pilihan itu terdiri dari 4 tipe, yaitu 1) yang mengalihkan pilihan ke Jokowi (40,5 persen dari 254 orang); 2) ke Prabowo (38,2 persen dari 254 orang); 3) golput (5,79 persen dari 254 orang); dan 4) masih bingung (15,7 persen dari 254 orang).
Lihatlah, ternyata di antara orang-orang yang lebih senang tokoh-tokoh di luar Jokowi dan Prabowo, ketika terpaksa harus memilih antara Jokowi atau Prabowo, masih lebih banyak yang memilih beralih mendukung Jokowi (40,5 persen) dibandingkan memilih Prabowo (38,2 persen). Sekitar 5,79 persen lainnya adalah pengikut fanatik 8 tokoh (tersebut di atas) di luar Prabowo dan Jokowi sehingga memilih lebih baik golput, dan sisanya 15,7 persen masih bingung harus mengalihkan dukungan ke Prabowo atau Jokowi.
Sungguh, ini kenyataan yang menampar kubu Prabowo. Hasil survei ini menegaskan kondisi bahwa kampanye berslogan #2019GantiPresiden mungkin berhasil mengurangi jumlah pendukung Jokowi untuk sementara namun gagal memindahkan dukungan itu ke Prabowo. Dukungan itu lari ke tokoh-tokoh lain. Ketika tokoh-tokoh lain tidak bertarung Pilpres, para pendukung mereka justru lebih banyak yang beralih mendukung Jokowi dibandingkan ke Prabowo.
Apa yang sebaiknya dilakukan kubu Prabowo?
Seperti telah saya sampaikan dalam artikel "Apa Kunci Prabowo Bisa Balik Kondisi Jadi Kemenangan Lawan Jokowi?" kubu Gerindra sendiri sebenarnya sudah memahami kondisi ini dan karena itu lekas-lekas banting setir strategi dan taktik kampanye mereka.
Jika pada April lalu petinggi Gerindra menyerukan gerakan kampanye #2019GantiPresiden harus didukung (CNNIndonesia.com, 06/04/2018), kini Gerindra menyerukan kepada para kadernya untuk fokus kembali kepada slogan awal, "Gerindra Menang, Prabowo Presiden"(Tribunsumsel.com, 18/07/2018) yang berarti berubah dari kampanye negatif menyerang Jokowi menjadi kampanye positif mempromosikan Prabowo.
Itu sudah satu langkah tepat, semoga masih tersisa waktu untuk merasakan dampaknya.
Langkah kedua adalah politisi Gerindra perlu tertib menahan opininya untuk tidak mengeluarkan pernyataan-pernyataan aneh yang justru menjauhkan Gerindra dan Prabowo dari simpati rakyat.