Mohon tunggu...
George
George Mohon Tunggu... Konsultan - https://omgege.com/

https://omgege.com/

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Hal "Salam Tempel," Dialog dengan Diri Sendiri

11 Juni 2018   13:08 Diperbarui: 11 Juni 2018   13:28 1459
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sungguh, lain padang lain ilalang, lain pula belalangnya. Demikian pula rupanya filosofi dan praktik "salam tempel" itu, berbeda-beda dijalankan di berbagai tempat di Nusantara ini.

Di Nusa Tenggara Timur, atau lebih khas di Manggarai, sebab di tempat inilah saya melihat dan mengalaminya, "salam tempel" dilakukan kapan saja selama dua pihak baru bertemu setelah lama tak jumpa.

Seorang yang sudah sukses di kota, menjadi pejabat pemerintahan atau pengusaha sukses misalnya, suatu saat berlibur di kampungnya, setelah bertahun-tahun tak pulang, membawa serta istri-anak. Biasanya ia sudah persiapkan sejumlah amplop, masing-masing ia isi dengan selembar uang, pecahan Rp 10.000 hingga Rp 100.000, tergantung seberapa kaya dirinya.

Nanti, saat tiba, ketika para kerabat di kampung datang menjumpainya, atau kemudian saat ia berpamitan hendak kembali ke perantauan, amplop itu akan ia berikan saat bersalaman, sembunyi-sembunyi. Bisa kepada anak-anak, bisa kepada ibu-ibu. 

Pemberiannya tidak boleh terbuka seperti politisi bikin hajatan bagi-bagi sembako. Salam tempel harus diberikan sembunyi-sembunyi.

Itu karena filosofi salam tempel adalah pemberian yang dilakukan diam-diam, tanpa sepengetahuan si penerima sebelumnya. Saat berjabat tangan, uang telah menempel, berpindah dari telapak pemberi ke telapak penerima.

Penerima tidak akan bisa menolak sebab uang telah di genggamannya. Penerima juga tidak perlu malu sebab orang tahu ia tak memintanya, bahkan---seolah-olah--tak mengharapkannya. Inilah pendasaran dari pemberian uang dilakukan secara "salam tempel," yaitu untuk mencegah penolakan penerima atau terbitnya rasa malu pada diri penerima.

Ilustrasi diolah dari newsghana.com.gh
Ilustrasi diolah dari newsghana.com.gh
"Salam tempel" juga bisa dilakukan tanpa rencana si pemberi.

Seorang paman dari desa tidak sengaja bertemu keponakannya di pusat perbelanjaan. Sudah lama mereka tak bertemu sebab keponakan merantau ke kota untuk bersekolah.

Keduanya  ngobrol sebentar, saling bertukar kabar. Mungkin pula si paman sempatkan mengajak keponakan makan di warung.

Saat hendak berpisah, mereka berjabat tangan. Selembar uang Rp 50 ribu atau Rp 100 ribu berpindah ke telapak keponakan. Tak perlu amplop.

Itu lah yang terjadi di Manggarai atau pula---dugaan saya---secara umum di NTT. Tidak ada pemberian uang yang dilakukan khusus saat hari raya. Hanya orang-orang Tionghoa yang melakukan itu di saat hari raya, disebut angpau, bukan "salam tempel."

Pemberian angpau tidak bisa disebut "salam tempel" karena semua orang sudah tahu dan sudah melihat ada setumpuk amplop berisi uang yang hendak dibagikan.

Maka dari sisi saya, dari sisi kultur saya, tidak mungkin menyebut praktik membagi-bagikan uang saat hari raya, entah Lebaran, Natal, atau Tahun Baru China sebagai salam tempel. Saya menyebutnya bagi-bagi uang saja. 

Bagaimana saya menilai praktik itu bagi-bagi uang itu? Saya bertanya kepada diri sendiri.

Ah, itu kebudayaan orang, tradisi orang. Jika mereka nyaman dan bahagia melakukannya, jika mereka merasa tradisi itu baik-baik saja, biarkan mereka melakukannya. Mengapa saya yang harus berpendapat?

Baiklah. Tampaknya diri saya mau cari aman. Saya harus ubah pertanyaannya. Bagaimana jika itu kelak menjadi tradisi di NTT?

Wah, kalau itu repot. Ngeri juga membayangkan itu jadi tradisi di sini kalau benar caranya seperti yang diceritakan di media, orang-orang dewasa membagi-bagikan secara terbuka, seperti pembagian sembako oleh politisi.

Saya sudah cukup perih melihat wajah orang-orang tua yang kebingungan saat anaknya menerima Sakramen Ekaristi (dalam agama Katolik) untuk pertama kali, dikenal dengan nama Sambut Baru.

Biasanya Sakramen Ekaristi diberikan saat anak telah duduk di kelas 4 SD. Anak yang sudah Sambut Baru boleh menerima sakramen Ekaristi, selembar roti pipih bundar tak beragi perlambang tubuh Kristus, sebuah peringatan perjamuan akhir sebelum Yesus disalib.

Entah dimulai kapan, memestakan Sambut Baru sudah jadi tradisi. Yang namanya pesta di NTT berarti ratusan orang diundang untuk makan-makan. Jelas butuh uang banyak.

Itu bentuk ungkapan syukur. Benar.

Sayangnya tidak semua orang bisa bersyukur dengan cara demikian. Tetapi karena sudah jadi tradisi, banyak orang terpaksa bikin pesta juga.

Untuk itu sering orang mencari pinjaman ke sana ke mari. Tidak bisa disangkal. Adanya koperasi yang menyediakan layanan pinjaman pembiayaan pesta Sambut Baru adalah buktinya.

Nah, bayangkan saja jika harus ditambah pula dengan tradisi bagi-bagi uang saat Natal seperti orang bagi-bagi uang saat Idul Fitri di tempat lain itu. Bayangkan jika orang harus meminjam khusus untuk itu. Lebih gawat karena Sambut Baru hanya diadakan sekali untuk tiap anak, Natal setiap tahun.

Jika tidak meminjam, keluarga-keluarga kurang mampu mau bagaimana?

Menerima tamu Natal, terus anak-anak tamu bertanya kepada anak kita, "Papamu miskin sekali ya? Kok tidak ada bagi-bagi uangnya?" Bagaimana perasaan anak kita?

Ketika merayakan Natal bersama keluarga besar misalnya. Saat saudara-saudaramu sudah berbaris dengan amplop di tangan dan siap membagikan uang kepada anak-anak, dirimu cuma berdiri di pojok dan berpura-pura sibuk dengan sesuatu yang tak penting? Berpura-pura sibuk membantu cuci piring?

Lalu anakmu bersama saudara-saudara sepupunya menerima uang dari ankel-onti, paman-bibi, abah-bunda, dan segala macam sebutan mereka untuk saudara-saudarimu. "Kok papa-mamamu nggak ikut bagi-bagi amplop?" Anak-anak lain bertanya kepada anakmu. Bagaimana perasaan dia?

Jadi bagi saya itu tradisi yang mengerikan jika harus terjadi di lingkungan saya, dalam kebudayaan saya. Ini kebudayaan yang menendang kaum miskin, merampas kebahagiaan hari raya dari mereka yang kurang beruntung.

Jadi tidak setuju dengan tradisi bagi-bagi uang saat lebaran itu, kan? Saya sudah mengancing diri saya sendiri, mendesaknya hingga ke pojok.

Ya kan pertanyaannya bagaimana jika terjadi di sini, di NTT. Kalau di luar sana, di tempat lain, di kebudayaan lain, sila lanjutkan terus. Mungkin mereka punya alasan tersendiri. Tidak patut saya menilainya.

Yaelah. Saya benar-benar cari aman. Sok moderat. Padahal sudah bangga-bangga bikin predikat juru cemo'oh yang #SOBARI, sok benar sendiri.

Kalau Om-Tante? [@tilariapadika]

Baca yang lain di Seri EDISI RAMADAN Tilaria Padika 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun