Di depan rumah orang tua saya, di kawasan lainnya, ada dua keluarga. Salah satunya adalah keluarga muda perantauan dari Bugis-Makasar yang pernah saya ceritakan di artikel "Cucuru Bayao dan Kenangan Bukber Perantauan Bugis" itu.
Mereka juga tidak pernah saya temukan berteriak-teriak membangunkan sahur.
Mungkin karena di saat Ramadan banyak remaja dan pemuda bugis yang tongkrong di depan kios itu dan baru pulang saat tiba saatnya sahur. Jadi tak perlu ada yang membangunkan sahur sebab mereka memang dalam kondisi bangun. Setelah sahur dan salat subuh baru mereka tidur.
Itulah pengalaman saya terkait tradisi membangunkan orang sahur. Tidak seperti yang pernah sepintas saya pirsa di televisi.
Apakah tradisi itu sudah hilang atau memang hanya ada di kampung-kampung, bukan di kota besar?
Mungkinkah kentung-kentung bambu telah tergusur raung-derum knalpot metal klub motor Sahur on the Road? Mungkinkah subkultur itu berhasil menggusur tradisi lama dan kelak berubah menjadi atribut dominan Ramadan di kota?
Kalau Om-Tante bagaimana?
Baca yang lain di Seri EDISI RAMADAN Tilaria PadikaÂ
***
Tilaria Padika
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H