Dua hari lalu Presiden Jokowi sudah angkat bicara, mantan narapidana kasus korupsi atau eks-koruptor punya hak menjadi calon anggota legislatif, caleg (1). Untuk sikap itu, presiden di-bully warganet. "Jelas kini, boneka koruptor," bunyi komentar warganet atas berita itu. Padahal kalau mau simpati publik, presiden baiknya ikut arus sentimen publik, sejalan dengan KPU. Mengapa presiden tidak populis saja?
Benci pada koruptor itu bagus. Mencegah jangan sampai koruptor kembali korupsi juga sangat baik adanya. Mantaplah jika Komisioner KPU bisa punya inisiatif itu, melampaui tugas dan tanggung jawab sebagai penyelenggara pemilu. Sungguh orang-orang berdedikasi.
Melarang bekas koruptor jadi caleg sepintas logis saja. Mereka korup saat punya ---bukan sebab, lho-- kekuasaan. Jika eks-koruptor kembali berkuasa, menjadi anggota legislatif, mereka akan kembali korupsi.
Maka membolehkan eks-koruptor nyaleg dipandang serupa mendudukkan kucing di depan piring penuh daging. Sudah pasti di-embat.
Ah, tidak, itu berlebihan. Kucing hanya punya naluri. Ia tidak bernalar soal baik-buruk. Ia tidak paham peraturan, tidak punya moral. Hanya insting. Koruptor itu manusia. Sebelum bertindak, ia berpikir dulu, ia menimbang salah-benar, pantas-tak-pantasnya.
Seorang gadis tersedu-sedu di depan jendela. Seorang pemuda mabuk di pos ronda. Keduanya bernasib sama, diselingkuhi kekasih tercinta yang berjumpa pacar lama di acara reuni sekolah.
Ketika kelak si kekasih insyaf, memutuskan selingkuhan dan berjanji tak akan khianat lagi; si pemuda berhenti mabuk, si gadis menyeka air mata dan melalui hari-hari penuh tawa. Dimaafkanlah kekasih yang pernah khilaf dan kini insyaf.
Tetapi memaafkan bukan berarti tanpa antisipasi. Si pemuda dan gadis belajar dari kesalahan. Kekasih mereka tak lagi diizinkan menghadiri reuni sekolah di tahun-tahun mendatang.
Sialnya, eks-koruptor bukan kekasih Anda, Om-Tante, dan menjadi caleg bukan tetek bengek sesederhana reuni sekolah.