Sering kita terkejut sendiri, pemberian yang kita pandang bukan apa-apa ternyata terbitkan suka cita besar pada penerimanya.
Ramadan 2013 saya masih aktif dalam politik parlementer. Jabatan saya di parpol lumayan tinggi, Wakil Ketua I Dewan Pengurus tingkat provinsi sekaligus ketua Badan Pemenangan Pemilu. Itu di sebuah partai berbasis massa Islam yang selama ini menjadi penjaga nilai-nilai kebhinekaan di Nusantara.
Ketika itu saya masih percaya bahwa partai-partai besar, asalkan bukan bagian dari Orde Baru, bukan milik konglomerat, bukan  fundamentalis agama, dan bukan didirikan mantan jenderal dapat menjadi kendaraan politik yang baik.
Saat bergabung saya minta empat syarat. Pertama, komposisi caleg DPRD provinsi nanti harus merupakan keterwakilan dari unsur-unsur akademisi, pemuda, masyarakat adat, buruh, petani, dan tentu saja para politisi yang memang sudah duluan ada di dalam partai.
Kedua, partai tidak membebani biaya mahar untuk menjadi caleg agar perwakilan unsur-unsur masyarakat yang kere bisa juga jadi caleg seperti syarat pertama. Untuk itu para caleg haruslah orang-orang yang berkeringat politik dalam membesarkan partai, bukan mereka yang mendadak politisi saat pemilu tiba.
Ketiga, kader partai yang duduk di DPRD nanti harus rutin melaporkan perkembangan pembahasan kebijakan di DPRD dan memperjuangkan posisi politik partai di DPRD, dalam arti kebijakan-kebijakan telah dibahas kolektif dalam rapat partai. Keempat, para anggota DPRD itu dibebankan jadwal piket untuk menerima pengaduan rakyat di kantor partai. Dengan cara demikian, diharapkan partai dapat sunguh-sungguh menjadi alat perjuangan rakyat, setidaknya alat politik bagi konstituennya.
Syarat itu dipenuhi, atau lebih tepat dijanjikan untuk dipenuhi. Maka saya bersukacita menjalankan tugas sebagai Ketua Bapilu dengan sungguh-sungguh, dibantu sejumlah aktivis muda yang kemudian menjadi mayoritas dalam kepengurusan. Â Hasilnya, kursi partai di DPRD NTT naik dari sebelumnya hanya 1 kursi menjadi 5 kursi. Pas untuk menempatkan orang di semua komisi di DPRD.
Kini saya masih berpolitik, tetapi tidak parlementer, tidak berada di dalam partai-partai yang jadi peserta pemilu. Tidak santun jika saya ceritakan sebab-sebabnya. Lagipula ini cerita tentang hadiah Idul Fitri, bukan tentang parpol.
Jadi saya bersungguh-sungguh ketika mengaku sebagai politisi dalam artikel "Elit Politik Merusak Bahasa."
Biasanya menjelang Idul Fitri, DPP mengirimkan barang-barang untuk dibagikan kepada pengurus yang dapat digunakan sebagai hadiah Idul Fitri untuk tokoh-tokoh masyarakat yang diharapkan dapat menjadi pendukung partai.