Mohon tunggu...
George
George Mohon Tunggu... Konsultan - https://omgege.com/

https://omgege.com/

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Cucuru Bayao dan Kenangan Bukber Perantauan Bugis

19 Mei 2018   04:00 Diperbarui: 19 Juni 2018   05:35 882
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cucuru bayo. Diolah dari resepkoki.id

Peristiwa keagamaan di Nusantara, untuk agama apapun, tidak sekedar momen religius. Ia juga peristiwa sosial, momentum kultural. Tiap-tiap daerah mennyerap hakikat nilai-nilai agama, mengekspresikannya dalam konteks kultur masing-masing yang khas. Maka merayakan peristiwa keagamaan menjadi pengalaman berbeda bagi perantauan.

Ada yang terasa hilang ketika jauh dari kampung halaman, jauh dari sanak saudara. Bukan sekedar kehangatan di tengah orang-orang tercinta, tetapi juga keunikan tradisi.

Itu pula yang dialami Andi dan Indah, sebut saja begitu sebab pasangan muda ini menolak saya sebutkan nama mereka dalam artikel. Keduanya pasangan suami-istri muda. Pasangan belia menurut saya sebab Andi belum 25 tahun dan Indah masih di ujung belasan.

Keduanya orang asli Maros, Sulawesi Selatan. Etnis Bugis.

Seperti banyak orang Bugis lain, jiwa dagang dan merantau mengalir dalam darah mereka. Maka di sinilah, di Kota Kupang, Andi-Indah kini berada.

Suami-istri belia ini mengontrak bangunan seukuran 4x5, perkiraan kasar saya, membaginya atas dua ruang kecil. Satu untuk dapur, satu untuk kios yang merangkap tempat beristirahat malam saat kios tutup.

Di Jawa orang-orang lebih mengenal istilah warung, menyamakan saja antara tempat menjajakan makanan jadi untuk disantap di tempat itu juga dengan toko kecil yang menjual segala macam kebutuhan sehari-hari di luar bahan pangan basah. Di NTT kami cukup ketat dengan makna kata itu. Warung ya warung, sinonimnya kedai, lepau. Kios ya kios, tidak bisa disebut warung.

Lucu ya, pengaruh Turki (kosk) atau Persia (kushk ) sampai juga hingga ke sini. Memang, dalam hikayat topogeny suku-suku di NTT, banyak yang bernenek moyang Turki atau Persia. Di Manggarai ada orang-orang Riwu yang disebut juga suku Kuleng, menguasai sekitar 2 kecamatan di Manggarai Timur. Di pulau-pulau Lamaholot konon ada juga orang-orang Turki yang telah tiba saat banyak lewo (kampung asli di Lamaholot) baru dalam proses pembentukan dan dengan itu menjadi salah satu dari empat suku pilar lewo.

Atau lebih masuk akal menduga kios sebagai serapan kesekian, dari Belanda, setelah bangsa itu seperti banyak bangsa Eropa Non-Anglo-Saxon terlebih dahulu menyerapnya sebagai kiosk  untuk menyebut booth.

Baiklah, kita kembali ke Andi dan Indah. "Sebutkan satu hal saja, jangan dipikirkan lama-lama, apa yang paling kalian rindukan, yang tidak terasa di sini, dari Ramadan bersama keluarga?" tanya saya kepada keduanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun