Bohong. Ya! Bohong!
Ketika elite politik bicara kepada publik, tujuannya bukan untuk mengabarkan kebenaran. Â Tentu saja tidak semua politisi begitu. Yang saya maksud adalah para politicker, dan umumnya politisi semenjak Orde Baru adalah politicker---Lihat penjelasan politicker di sini.
Intensi utama dari komunikasi publik yang dilakukan politisi zaman now adalah untuk meraih dukungan, mendapatkan suara massa saat pemilu dan pemilukada.
Karena mengutamakan tujuan ini, kebenaran pun dibokongi, publik dibohongi.
Seharusnya mereka bisa gunakan kata pemerataan atau merata jika yang dimaksudkan adalah tidak ada daerah yang dipinggirkan di dalam pembangunan. Bahwa pembangunan infrastruktur di bawah pemerintahan mereka akan merata kepada semua daerah, tidak hanya diprioritaskan kepada daerah tertentu.
Tetapi kata merata sepertinya bukan kata yang  kuat untuk meraih simpati publik di tempat mereka berkampanye. Prioritas adalah kata yang lebih kuat, yang lebih menarik dukungan orang. Tak peduli jika  kelak publik heran setelah membaca berita bahwa di kabupaten lain pun, di kecamatan lain pun, di seluruh kabupaten dan di seluruh kecamatan yang dikunjungi, Si Cakada sampaikan hal serupa.
Rupanya kecenderungan bahasa tipu-tapu politicker ini sudah lama pula disadari orang-orang, bahkan dipelajari kalangan cerdik-pandai.
George Orwell, penulis novel distopia---saya nilai terlalu paranoid---1984 dan novel allegoris Animal Farm sudah sejak 1946 menulis esai "Politics and the English Language" (yang saya punya versi cetak ulangnya pada 1968 dalam  The Collected Essays, Journalism and Letters of George Orwell).
Menurut Orwell, karakter political writing dalam bahasa Inggris pada masanya antara lain: dying metaphors dan sering digunakan tanpa paham artinya; operator or verbal fals limbs, maksudnya menggunakan frasa kata yang panjang padahal bisa disingkat (contohnya bisa pakai 'role' tetapi dipanjangkan dengan 'play a leading part in'); pretentious diction, menggunakan kalimat dengan kata-kata yang berkesan ilmiah untuk menyelubungi penilaian yang bias; dan meaningless words, termaksud membuat kata-kata menjadi kehilangan arti. Dalam bahasa pejabat kita, misalnya ,'kritik membangun,' 'partai setan vs partai Allah' atau 'hoax membangun.' Banyaklah contohnya.
Cendekiawan ilmu politik, Murray Edelman dalam papernya "Political Language and Political Reality" (PS vol 18, No 1 (1985))  menulis "We are inundated with accounts and disscussion of elections campaigns, legislative debates, and the statements of high officials but none of these means anything at all for how people live until they are implemented; and the form of eventual  implementation, or whether it will occur at all, can not be known from publicised language."
Maka jika politisi janjikan anu saat kampanye, jangan bayangkan wujud anu itu  seperti yang ia bunyikan, tetapi tunggu nanti bagaimana rupanya saat sudah berkuasa.