Salah satu dari lima agenda terpenting reformasi generasi kedua a la IMF ini adalah reformasi pasar tenaga kerja yang bertujuan menciptakan "an adaptable labor market that encourages mobility and keeps labor costs in line with labor productivity, as well as sustained efforts to improve workers' skills."
Yang Camdessus maksudkan dengan menekan pemerintah adalah menjadikan liberalisasi atau kelenturan pasar tenaga kerja sebagai syarat pinjaman dari IMF. Kita bisa temukan misalnya di dalam Letter of Intent Maret 2003 antara IMF dan Pemerintah Indonesia. Dalam dokumen itu, pada poin Labor Policies sebagai syarat pencairan pinjaman disebutkan " ... to ensure that the laws strike an appropriate balance between protecting the rights of workers, including freedom of association, and preserving a flexible labor market."
Di dalam laporan "Post-Program Monitoring Discussions and 2004 Article IV Consultation IMF Mission Assessment" (Maret 2004) IMF menyatakan "The main priority for economic policies, as recognized in the government's White Paper, is to put Indonesia on a higher growth path. ... To bolster Indonesia's growth prospects, reform efforts should concentrate on tackling weaknesses in taxation and regulation, enhancing labor market flexibility, and addressing problems with property rights and contract enforcement."
Sebagaimana IMF dan Bank Dunia, ADB juga berkepentingan mengawal perwujudan kelenturan pasar tenaga kerja di Indonesia. Tujuan akhirnya adalah iklim usaha yang kondusif bagi investasi asing.
Pada 2003, ADB bekerjasama dengan Bank Dunia, Kementrian Koordinator Bidang Ekonomi, dan BPS mengadakan Studi Iklim Investasi dan Produktivitas Indonesia (ICS). Studi itu mewawancarai pandangan pengusaha, terutama investor asing terhadap hambatan investasi di Indonesia. Salah satu temuannya adalah bahwa peraturan ketenagakerjaan  lebih menjadi hambatan dibandingkan masalah kualitas tenaga kerja.
Persoalan-persoalan terkait peraturan ketenagakerjaan yang menghambat iklim investasi itu  mencakup tatacara pemberhentian dan pemberian uang pesangon, keterbatasan dalam mempekerjakan pekerja sementara, dan peraturan pengupahan yang kaku.
Studi itu dan beragam studi serupa dibuat untuk melegitimasi komitmen ADB untuk mendesak  penciptaan iklim usaha yang kondusif bagi modal asing (foreign direct investement) di negara-negara berkembang di Asia.
Desakan itu dilakukan melalui program pinjaman untuk reformasi kebijakan yang mendukung penciptaan iklim investasi yang kondusif. Untuk pemerintah Indonesia, salah satu programnya adalah The Development Policy-Support Program (DPSP).
DPSP adalah pinjaman untuk membiayai "upaya reformasi jangka menengah" Pemerintah Indonesia selama periode transisi ekonomi dan politik. Gelontoran dana awal sebagai pinjaman program satu tahap--single tranche program loan---sebesar  200 juta USD.
DPSP dirancang untuk selaras dengan dan melengkapi pinjaman proyek liberalisasi serupa oleh Bank Dunia dan Pemerintah Jepang. Dari empat tujuan utama DPSP, salah satunya adalah memajukan iklim investasi melalui--salah satu langkah dari 3 pendekatan utama-- melalui "clarifying and strengthening the legal framework in which foreign and domestic businesses operate." Termasuk di dalam langkah ini adalah 'reformasi' regulasi ketenagakerjaan.
Tentu saja yang dimaksud sebagai 'reformasi' oleh IMF, Bank Dunia, dan ADB, serta negara-negara maju di belakang mereka, dan kapitalis multinasional di belakang negara-negara itu adalah perubahan regulasi ketenagakerjaan agar lebih lentur, lebih memungkinkan adaptasi terhadap persaingan global yang kian ketat dan krisis kapitalisme yang kian dalam dan sering.