Mohon tunggu...
George
George Mohon Tunggu... Konsultan - https://omgege.com/

https://omgege.com/

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Bijak Menilai Soal Utang Rp 7.000 Triliun

23 Maret 2018   17:00 Diperbarui: 24 Maret 2018   18:05 1402
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kelemahan dari demokrasi dan kemajuan teknologi informasi adalah dirimu harus membaca beragam pendapat, yang berkualitas pun yang asal njeplak tanpa bisa kaufilter. Kondisi ini bertambah runyam ketika banyak pendapat sebenarnya tak lebih dari sorak-sorai  cheerleaders politik, para partisipan hura-hura dan huru-hara yang berteriak apapun demi tim idola.

Hoax dan asal bicara tidak dimonopoli satu pihak. Entah oposisi, entah posisi. Entah gratis, entah berupah.

Tiada masalah menyatakan pendapat. Bebas-bebas saja. Tidak pula harus seseorang menjadi ahli. Sebab jika menunggu ahli yang menulis, mungkin kita harus bersabar seminggu untuk bisa membaca satu artikel saja.

Meski begitu, seorang awam pun seharusnya tetap berhati-hati dalam berpendapat. Setiap hendak merespon sesuatu upayakan berpikir dulu sejenak, mencari bahan-bahan untuk memperkaya pengetahuan, sebelum menyatakannya ke publik. Menulis berdasarkan a priori semata akan membuat jengkel yang membaca.

Seseorang menulis tanggapannya terkait press release Indef soal utang luar negeri yang mencapai Rp 7.000 triliun. Dalam tanggapannya, si penulis tidak saja menyerang konten, tetapi juga memukul Indef dengan tiga argumentasi.

Pertama bahwa utang senilai Rp 7.000 triliun itu tidak semuanya utang pemerintah dan Indef telah mencampur-adukkan utang pemerintah dan swasta. Kedua bahwa data Indef berbeda dengan data pemerintah. Ketiga bahwa salah seorang peneliti terkait dengan partai politik opisisi.

Si penulis tampaknya merasa telah melakukan tindakan mulia dan benar, seolah-olah membantu khalayak memberikan warta dan persepsi yang tepat atas berita itu. Tetapi saya kuatir kontra-opini itu justru menyesatkan khalayak.

Untuk itu saya merasa perlu menyumbang apa yang saya tahu (sebagai awam) agar tidak misleading. Untuk menghindari problem salah kutip wartawan, saya menelusuri langsung dari press release INDEF "Menggugat Produktivitas Utang" yang bertiti mangsa 21 Maret 2018.(1) Catatan: Jika pun saya ikut misleading, setidaknya saya sudah berusaha sedikit lebih keras untuk mengerti hal ini.

Pandangan saya begini.

Pertama, Indef tidak menyebut angka Rp 7.000 triliun sebagai utang pemerintah. Angka tersebut adalah total general utang pemerintah dan utang swasta.

Yang dimaksudkan dengan utang pemerintah adalah utang yang dibukukan negara untuk membayai defisit anggaran. Sementara utang swasta adalah utang milik korporasi swasta dan BUMN.

Utang Rp 7.000 triliun itu juga bukan seluruhnya merupakan utang luar negeri. Utang luar negeri pemerintah pada September 2017 sebesar 177 miliar dollar AS, yang jika dikonversi pada kurs kurs 13.500 menjadi sekitar Rp 2.389 triliun. Sementara utang luar negeri swasta 172 miliar dollar AS (dengan kurs 13.500 menjadi sekitar Rp 2.322 triliun). Menurut Indef, nominal utang swasta itu kemungkinan belum termasuk semua utang BUMN.

Mengapa besar utang luar negeri pihak swasta harus ikut dipertimbangkan sehingga besar jumlahnya perlu menjadi alarm agar waspada?

Utang luar negeri, istilah formalnya adalah external debt, yaitu utang yang dilakukan dalam foreign currency.

Bahaya dari tingginya external debt bukan terletak pada ia dilakukan swasta atau pemerintah. Malah problem external debt yang berujung krisis yang disebut sebagai debt-provoked crisis di masa kini cenderung dilatarbelakangi liberalisasi utang luar negeri.

External debt, baik public debt (utang pemerintah) atau private debt (utang swasta) berisiko karena pertama exchange rate risk atau risiko nilai tukar.

Utang ini dicatat dalam mata uang negara pemberi utang atau mata uang kuat internasional, umumnya dollar. Utang tersebut dipakai untuk investasi dalam negeri yang berimbal pendapatan dalam rupiah. Pendapatan itu yang akan dipakai untuk membayar utang kembali dalam bentuk dollar.

Ketika kurs dollar naik, nominal utang dalam rupiah juga naik. Jika kurs dollar naik berkali lipat, mungkin oleh karena krisis atau kepanikan tertentu, nilai utang dalam rupiah juga naik berkali-kali lipat sehingga debitor mengalami gagal bayar.

Inilah yang terjadi di Indonesia pada 1997 dahulu. Rupiah jatuh dari 2.300 per dollar AS Mei 1997 menjadi Rp 4.650 per dollar AS di akhir tahun. Dengan demikian nominal external debt dalam rupiah menjadi dua kali lipat. Perbankan tidak sanggup membayar utang valasnya, kekurangan likuiditas dan bangkrut. Untuk mengatasi itu, Negara harus menganggarkan BLBI! Itu sebabnya krisis ekonomi 1997 disebut krisis moneter.

Bahaya kedua dari external debt adalah persistent current account deficits, deficit neraca berjalan.

Bahaya ini terkait ketergantungan negara terhadap utang luar negeri untuk kebutuhan pembiayaan tertentu, misalnya mengimpor pangan. Jika negara mengalami defisit neraca berjalan terus-menerus dan membiayai defisit itu dengan utang luar negeri, maka gejolak kecil dapat berdampak negara kehilangan kemampuan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri atas barang terkait.

Jangan salah sangka. Sebelum krisis 1997 meledak, ekonomi Indonesia itu baik-baik saja. Lebih baik dari kondisi sekarang ini. Pada triwulan pertama 1997, kinerja makroekonomi Indonesia secara fundamental kuat. Pertumbuhan ekonomi bagus, inflasi rendah, defisit anggaran rendah, pertumbuhan ekspor positif, akumulasi cadangan devisa stabil. Kondisi minus-nya hanya defisit transaksi berjalan yang meningkat dan yang paling parah adalah meningkatnya ketergantungan pada dana asing.

Jadi memperingatkan bahaya tingginya utang luar negeri (pemerintah dan swasta) tidak harus menunggu indikator-indaktor makroekonomi memerah. Ahistoris itu namanya!

Tingginya utang luar negeri swasta memiliki bahaya tersendiri. Jika kita mempelajari sejarah krisis yang diprovokasi oleh utang, semenjak 1980an sebenarnya krisis ini justru didorong oleh liberalisasi utang luar negeri pihak swasta.

Dahulu swasta tidak boleh langsung berutang. Utang luar negeri dilakukan antara bank sentral. Baru setelah 1973 Amerika Serikat meliberalisasi utang luar negeri. Pemerintah negara berkembang (saat itu di Amerika Latin) dapat meminjam dari bank swasta di Amerika Serikat. Lalu berkembang lebih liberal lagi, swasta di negara berkembang dapat meminjam dari bank swasta di negara maju. Liberalisasi private external debt ini menyebabkan tingkat utang tidak mempertimbangkan cadangan devisa.

Utang luar negeri pemerintah (public external debt) juga bahaya jika terlalu tinggi. Bukan soal ia untuk infrastruktur atau keperluan lainnya. Krisis utang pertama, era 1980an di negara-negara Amerika Latin itu justru didorong oleh penumpukan public external debt sejak 1960an untuk membiayai infrastruktur.

Akan lebih bahaya jika tingkat utang sampai pada paradox berupa principal dan bunga utang lama hanya bisa dibayar dengan utang baru saking tingginya.

Kedua. Data Indef dan kementerian keuangan memang sedikit berbeda. Hal itu karena karena data yang dipakai adalah outstanding debt, artinya posisi utang pada waktu tertentu. Indef gunakan data outstanding September 2017. Perbedaan itu bisa disebabkan oleh patokan kurs dollar yang digunakan ketika nominal utang dikonversi ke dalam rupiah. Lagi pula selisih antara dua data itu tidak terlampau besar.

Ketiga. Meragukan Indef hanya karena salah satu penelitinya memiliki afiliasi politik dengan partai oposisi adalah pemaksaan cara pandang yang keterlaluan.

Benar bahwa sejumlah --bukan hanya satu---peneliti indef memiliki afiliasi politik, formal dan nonformal. Ada Dr. Drajad Wibowo, Prof. Didik Rachbini, Faisal Basri. Tetapi lebih banyak lagi di antara 25 peneliti Indef yang tidak berpolitik praktis. Di sana ada ekonom Aviliani yang keren itu, ada pakar pertanian Bustanul Arifin yang harus saya lirik data dan ulasannya tiap kali hendak membuat artikel politik pertanian. Rasanya seperti ada yang salah jika kesimpulan saya berbeda dengan analisis Pak Bustanul. Juga segudang nama lain yang hebat-hebat itu.

Benar bahwa afiliasi politik sering menyebabkan seorang ekonom tidak objektif dalam berpendapat. Tetapi pendapat tidak objektif itu terlontar secara pribadi, tidak ketika mewakili lembaga.

Indef adalah think-tank independen yang berdiri sejak 1995. Studi yang mereka lakukan sering sangat membantu dalam memberikan masukan juga mengkritik kebijakan rezim. Bukan hanya pemerintahan saat ini. Sejak era Soeharto hingga kini, Indef terus memberikan hasil studi dan assessment mereka kepada publik dan pemerintah.

Jadi jangan lantas karena kini penilaian mereka dinilai berdampak minus terhadap junjungan kita, lalu mereka dipropagandakan sebagai sekelompok tukang komentar yang tidak profesional.

Silakan cek ke orang-orang yang ikut menyusun dokumen Nawacita, atau cek KSP, mereka akan katakan bagaimana studi dan assessment Indef membantu memandang problem ekonomi negeri ini.

Para ekonom itu etiknya adalah memang menyampaikan temuan dan penilaian mereka kepada publik dan pembuat kebijakan. Demikianlah salah satu tugas yang melekat dalam disiplin yang mereka pelajari. Tanpa melakukan itu sia-sia mereka belajar susah-susah.

Tingginya tingkat utang luar negeri (pemerintah dan swasta) adalah kondisi yang harus diwaspadai bersama. Apalagi jika beban utang sudah mencapai tingkat di mana principal dan bunga harus dibayar dengan utang baru.

Maka ketika ada ekonom atau ahli manapun menyampaikan hasil studi dan assessment-nya, dan kebetulan itu tidak bagus bagi citra pemerintahan yang Anda dukung, Anda tidak perlu defence dengan cara asal menyerang seolah-olah mereka tidak kredibel.

Anda bisa memilih cara lain yang lebih cerdas, misalnya dengan meng-konter penilaian utang tidak produktif. Anda bisa katakan bahwa tidak  fair jika kita menilai produktivitas utang pada saat ini terkait belanja infrastruktur.

Pembangunan instrastruktur membutuhkan waktu agar terasa dampaknya bagi pertumbuhan ekonomi. Akan lebih tepat untuk menilai  utang infrastruktur setelah mungkin 5-10 tahun ke depan, bahkan mungkin lebih. Kita tahu bahwa jika pakai perhitungan bisnis murni, proyek-proyek infrastruktur, terutama di daerah-daerah di luar Jawa tidak akan lolos feasibility study dari aspek ekonomi-nya. Apa yang dilakukan Jokowi saat ini memang sebuah pertaruhan. Tetapi yakinlah, pemerintah di masa depan akan merasakan dampak positifnya. Begitu. Anda bisa bilang begitu.

Lalu para pengkritisi akan mendebat argumentasi Anda. Ya sudah tahu balik modalnya lama, mengapa harus ngotot gunakan utang untuk pembiayaan infrastruktur? Sepertinya dia hanya mau pencitraan deh sebab proyek infrastruktur memang paling konkrit. Peluang terpilih kembali akan lebih besar.

Anda jawab begini. Benar bahwa berdasarkan survei preferensi pemilih, biasanya masalah infrastruktur adalah hal yang paling dikeluhkan masyarakat atau konstituen. Bisa jadi ada hitung-hitungnya pragmatis politis di sana. Tetapi ada dua acara pandang lain yang perlu juga dipertimbangkan.

Pertama, tidak usah dipungkiri bahwa pelambatan ekonomi dunia masih terus berlansung. Ekonomi sedang lesu, jika kata krisis terlalu kuat. Sudah pakem bahwa untuk mengatasi krisis, negara akan menggenjot investasi publik. Itu untuk menjaga angka pertumbuhan ekonomi. Tujuannya agar perusahaan-perusahaan tetap beroperasi, buruh-buruh tetap bekerja, rumah tangga tetap memiliki daya beli. Infrastruktur dipilih karena itulah sektor yang menyerap banyak tenaga kerja harian, kuli-kuli kasar hingga tukang insinyur. Sektor itu pula yang paling banyak backward dan forward linkage-nya.

Masih ingat perang teluk, bukan? Apa yang diperebutkan Prancis dan Amerika setelah kota-kota di Irak diluluhlantakan? Proyek rekonstruksi, pembangunan kembali infrastruktur di Irak. Itu sebabnya perang terbatas dipandang sebagai strategi licik menyelamatkan ekonomi dari krisis.

Soal lain adalah jika hitung-hitungannya semata-mata pada kecepatan investasi kembali pokok, maka pembangunan infrastruktur di daerah-daerah tidak akan terjadi. Selama infrastruktur di daerah tidak terbangun, jangan berharap pertumbuhan ekonomi membaik di sana.

Karena itu, dilihat dengan prasangka positif, Jokowi ingin meninggalkan legacy berupa pemerataan pembangunan (infrastruktuur) yang berdampak jangka panjang pada pemerataan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan rakyat di seluruh pelosok Nusantara. Bukankah ini salah satu trademark Jokowi sejak kampanye dulu?

Demikianlah diskusi yang sehat itu.

***

Tilaria Padika

23/03/2018

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun