Mohon tunggu...
George
George Mohon Tunggu... Konsultan - https://omgege.com/

https://omgege.com/

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Bijak Menilai Soal Utang Rp 7.000 Triliun

23 Maret 2018   17:00 Diperbarui: 24 Maret 2018   18:05 1402
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi diolah dari zeebiz.com

Jadi memperingatkan bahaya tingginya utang luar negeri (pemerintah dan swasta) tidak harus menunggu indikator-indaktor makroekonomi memerah. Ahistoris itu namanya!

Tingginya utang luar negeri swasta memiliki bahaya tersendiri. Jika kita mempelajari sejarah krisis yang diprovokasi oleh utang, semenjak 1980an sebenarnya krisis ini justru didorong oleh liberalisasi utang luar negeri pihak swasta.

Dahulu swasta tidak boleh langsung berutang. Utang luar negeri dilakukan antara bank sentral. Baru setelah 1973 Amerika Serikat meliberalisasi utang luar negeri. Pemerintah negara berkembang (saat itu di Amerika Latin) dapat meminjam dari bank swasta di Amerika Serikat. Lalu berkembang lebih liberal lagi, swasta di negara berkembang dapat meminjam dari bank swasta di negara maju. Liberalisasi private external debt ini menyebabkan tingkat utang tidak mempertimbangkan cadangan devisa.

Utang luar negeri pemerintah (public external debt) juga bahaya jika terlalu tinggi. Bukan soal ia untuk infrastruktur atau keperluan lainnya. Krisis utang pertama, era 1980an di negara-negara Amerika Latin itu justru didorong oleh penumpukan public external debt sejak 1960an untuk membiayai infrastruktur.

Akan lebih bahaya jika tingkat utang sampai pada paradox berupa principal dan bunga utang lama hanya bisa dibayar dengan utang baru saking tingginya.

Kedua. Data Indef dan kementerian keuangan memang sedikit berbeda. Hal itu karena karena data yang dipakai adalah outstanding debt, artinya posisi utang pada waktu tertentu. Indef gunakan data outstanding September 2017. Perbedaan itu bisa disebabkan oleh patokan kurs dollar yang digunakan ketika nominal utang dikonversi ke dalam rupiah. Lagi pula selisih antara dua data itu tidak terlampau besar.

Ketiga. Meragukan Indef hanya karena salah satu penelitinya memiliki afiliasi politik dengan partai oposisi adalah pemaksaan cara pandang yang keterlaluan.

Benar bahwa sejumlah --bukan hanya satu---peneliti indef memiliki afiliasi politik, formal dan nonformal. Ada Dr. Drajad Wibowo, Prof. Didik Rachbini, Faisal Basri. Tetapi lebih banyak lagi di antara 25 peneliti Indef yang tidak berpolitik praktis. Di sana ada ekonom Aviliani yang keren itu, ada pakar pertanian Bustanul Arifin yang harus saya lirik data dan ulasannya tiap kali hendak membuat artikel politik pertanian. Rasanya seperti ada yang salah jika kesimpulan saya berbeda dengan analisis Pak Bustanul. Juga segudang nama lain yang hebat-hebat itu.

Benar bahwa afiliasi politik sering menyebabkan seorang ekonom tidak objektif dalam berpendapat. Tetapi pendapat tidak objektif itu terlontar secara pribadi, tidak ketika mewakili lembaga.

Indef adalah think-tank independen yang berdiri sejak 1995. Studi yang mereka lakukan sering sangat membantu dalam memberikan masukan juga mengkritik kebijakan rezim. Bukan hanya pemerintahan saat ini. Sejak era Soeharto hingga kini, Indef terus memberikan hasil studi dan assessment mereka kepada publik dan pemerintah.

Jadi jangan lantas karena kini penilaian mereka dinilai berdampak minus terhadap junjungan kita, lalu mereka dipropagandakan sebagai sekelompok tukang komentar yang tidak profesional.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun