Selama ini banyak yang salah kaprah, menyangka perempuan aktivis itu abai dari tanggungjawab terhadap anak. Rupanya sterotipe yang dipropagandakan para pendukung adat dan paham tua berhasil melekat erat di kepala kita. Seolah-olah demi kemandirian terjaga, para perempuan aktivis memandang anak dan rumah tangga sebagai beban.
Salah kaprah ini akan luruh jika Om-Tante menyaksikan bagaimana para perempuan aktivis ini berkongres.
Aksi Perempuan Indonesia Kartini atau API Kartini adalah organisasi massa perempuan yang terhitung belia usia. Ia lahir sebagai keputusan Konferensi Nasional Perempuan Indonesia pada Desember 2014 silam.
Ketika itu ratusan perempuan aktivis dari 16 provinsi dan 32 kota berkonferensi di Wisma PKBI, Jakarta selatan. Mereka berlatar belakang beragam organisasi sektoral. Ada yang aktivis mahasiswa, ada pengurus serikat buruh, organisator serikat tani, akademisi, penggiat posyandu, politisi, jurnalis, pengurus koperasi, pekerja seni, hingga ibu rumah tangga. Pokoknya perempuan aktivis dari rupa-rupa medan juang.
Para perempuan aktivis ini merasa sudah saatnya sebuah organisasi massa perempuan didirikan untuk memperjuangkan kepentingan perempuan di bidang ekonomi, politik, dan sosial budaya. Â Mereka memandang perkumpulan-perkumpulan perempuan yang ada saat ini belum dapat mewadahi gagasan-gagasan mereka.
Mereka butuh alat perjuangan yang tidak hanya memperjuangkan kepentingan sektoral perempuan tetapi juga demokrasi dan kesejahteraan rakyat secara umum. Mereka yakin demokrasi dan kesejahteraan tidak akan paripurna tanpa pembebasan kaum perempuan, sebaliknya perempuan tidak akan pernah merdeka tanpa demokrasi, kesejahteraan, dan keadilan.
Setelah empat tahun berkiprah, API Kartini akhirnya berkongres untuk pertama kalinya. Pada 8-10 Maret 2018 lalu sekitar 300 utusan pengurus API Kartini dari berbagai kota kembali bertemu di Wisma PKBI.
Ada hal yang sungguh menarik dari pelaksaan kongres itu. Saya melihatnya pada foto-foto yang dikirimkan Ketua Umum pertama API Kartini, Minaria Christin.Â
Bunda Minar adalah perempuan aktivis, mamah muda asal Medan. Ia baru saja digantikan pada kongres ini. Terpilih sebagai ketua baru adalah Diana Mondong dari Minahasa, yang dalam kepengurusan sebelumnya menjabat Sekjend. Kebetulan di dunia nyata saya kenal  suami Minar, Om Dominggus Octavianus, seorang aktivis kelahiran Timor, NTT yang sudah 10 tahun ini --jika saya tak salah ingat-- menjadi Sekjend Partai Rakyat Demokratik (PRD).
Entah disengaja atau tidak, foto-foto itu seolah-olah sebuah gelar seni pentas yang meneriakkan sikap bahwa membesarkan anak bukan urusan domestik, privat. Ia adalah urusan publik.