Jika ditanya, siapa yang terbesar di antara pemuda pejuang asal NTT di era mempertahankan kemerdekaan, saya tidak akan ragu menjawab: Francisca Fanggidaej!
Orang mungkin akan protes sebab nenek dari artis Reza Rahadian ini pernah tercatat dalam kepengurusan pertama Pemuda Rakyat, organisasi underbow PKI setelah berubah dari Pesindo pada kongres 1950. Tetapi kita tidak bisa menghilangkan jasa penting seseorang hanya karena berada pada pihak yang kalah dan kemudian dipersalahkan sejarah. Apa yang Francisca lakukan demi kemerdekaan republik tercinta ini tidak bisa dihilangkan begitu saja.
Francisca Fanggidaej lahir di Noelmina, Timor pada 16 Agustus 1925 tetapi dibesarkan di Surabaya oleh orang tua yang bekerja pada pemerintahan Belanda. Belanda hitam, demikian sindirian untuk orang-orang seperti keluarga Francisca dahulu.
Penjajahan Jepang mengubah hidup Francisca muda. Kenyamanan yang diperoleh keluarganya selama penjajahan Belanda berakhir sudah. Kini Francisca bisa turut merasakan pahit getir hidup sebagai orang jajahan, hal yang mendekatkannya dengan kaum pergerakan kemerdekaan.
Francisca masih belia belasan tahun ketiga bergabung di dalam study club pimpinan Gerit Siwabessy dan Dr. Latumenten di Surabaya. Di usia 19 tahun (November 1945), ia dikirim ke Yogyakarta untuk menghadiri kongres pemuda yang kelak menghasilkan pendirian Badan Kongres Pemuda Republik Indonesia (BKRI) dan Pemuda Sosialis Indonesia.
Ketika baru akan berusia 22 tahun, Juli 1947, Franscisca ditugaskan ke Praha, Cekoslowakia untuk mewartakan kemerdekaan Indonesia di Festival Pemuda Sedunia Pertama. Dari sana ia melanjutkan ke perjalanan ke Kolkata, India untuk berpidato tentang kemerdekaan Indonesia di hadapan peserta South East Asian Youth & Students Conference pada Februari 1948. Dengan demikian, Francisca Fanggidaej adalah juru bicara pertama pemerintah Indonesia di forum pemuda internasional.
Ketika kembali ke tanah air, Francisca tidak dapat menghindar dari pusaran tragedi Madiun 1948. Partai Komunis Indonesia terlibat perseteruan bersenjata dengan Pemerintahan Soekarno-Hatta. Sebagai orang kepercayaan mantan Perdana Menteri Amir Syariffudin, Francisca turut di dalam pelarian bersama Amir. Sukarno, aktivis Pesindo yang belum setahun menikahi Francisca turut dieksekusi bersama Amir Syarifudin pada 19 Desember 1948. Francisca sendiri, oleh karena kehamilannya, tidak dieksekusi dan kemudian dibebaskan dari penjara Gladak oleh Pesindo.
Setalah peristiwa Madiun, pada 1950 Pesindo berkongres dan memutuskan berubah menjadi Pemuda Rakyat, organisasi pemuda underbow PKI. Francisca terpilih sebagai ketua. Tetapi ia (bersama Ir. Setiadj) mengundurkan diri, Â memilih aktif sebagai wartawan dan memimpin INPS (Indonesian National Press Service) serta bekerja paruh waktu di Kantor Berita Antara.
Dalam usia 32 tahun (1957), Francisca terpilih sebagai anggota DPR-GR mewakili unsur wartawan. Dalam jabatannya sebagai anggota Komisi Luar Negeri  DPR-GR, Francisca banyak melakukan lawatan ke luar negeri. Pada tahun 1964, ia menjadi penasihat presiden Soekarno dalam konfrensi Asia Afrika III di Aljazair.
Ketika Francisca berkunjung ke Chili sebagai anggota delegasi Indonesia dalam Kongres Wartawan Internasional, di tanah air meletus peristiwa G30S. Sebagai anggota PKI, Francisca tidak dapat kembali ke Indonesia. Ia tinggal di Tiongkok lalu pindah ke Belanda pada 1985.
Pada 13 November 2017 nanti, akan tiga tahun sudah Francisca mendapat suaka abadi di sisi Sang Pemilik Kehidupan. Francisca meninggal dalam sunyi pengasingan di Utrech, Belanda.
"Saya berpikir, pasti ada kebaikan dan sisi positif selama Oma hidup. Entah jika ia disebut dekat dengan negara-negara yang selama ini image-nya kiri. Entah jika ada fakta sejarah yang bias. Itu yang membuat Oma tidak bisa pulang ke Indonesia. Sekarang, abu jenazah Oma pulang ke Indonesia. ...," kata si cucu, Reza Rahadian.(1)
Saya setuju, Reza. Francisca memang ketua pertama Pemuda Rakyat, organisasi underbow PKI. Ia juga orang kepercayaan mantan perdana menteri Amir Syarifuddin, tokoh PKI (sekaligus penjasa besar dalam perjuangan melawan facist Jepang) di era 1940an. PKI dianggap pihak yang harus bertanggungjawab atas tragedi 1965, dan karena itu Francisca turut menanggung akibat, tidak bisa kembali ke tanah air hingga akhir hayatnya. Tetapi keterlibatan Francisca bersama PKI tidak boleh menjadi alasan kita menutup mata atas sumbangan besar almarhum terhadap kemerdekaan, kemerdekaan yang turut ia perjuangkan tetapi tidak bisa ia nikmati.
Selamat hari Sumpah Pemuda, Francisca. Damailah damai di seberang sana.
FYI, kiprah Fracisca Fanggidaej dapat dibaca lebih lengkap di buku Memoar Perempuan Revolusioner yang diterbitkan Galang Press pada 2006 silam. Sebagian besar informasi di dalam artikel ini bersumber dari sana.
***
Tilaria Padika
28102017
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H