Saya kaget sendiri, setelah membaca dua artikel teranyar Pak Ronald Wan tentang data ("Hubungan antara "Big Data" dan Jejak Digital" Â dan ""Data Scientist" Profesi yang Sedang Naik Daun") di benak saya tiba-tiba terlintas wajah Pak John Nash dan Pak Gatot Nurmantyo.
Pak John Nash adalah jagoan matematika kelas wahid yang secara luar biasa meraih dua penghargaan bergengsi: penghargaan nobel prize (di bidang ekonomi pula, bukan matematika) terkait game theory, terutama non-coperative game; dan penghargaan Abel Prize atas karyanya di bidang persamaan diferensial parsial non-linear. Hebatnya lagi, Pak Nash meraih prestasi akademik puncak dalam kondisi menderita gangguan jiwa Paranoid schizophrenia. Si Pak John Nash ini lho yang jadi figure utama dalam film The Beautifull Mind. Sudah Anda tonton, kan? Oh iya, sedih mengabari ini. Pada 2015 lalu, pas bulan Mei, Pak Nash dan Istri tewas dalam kecelakaan mobil.
Kalau Pak Gatot Nurmantyo, Bapak-Ibu pasti tahu kan? Dia boss tentara tercinta kita, orang kedua setelah Pak Jokowi. Jangan lupa, lho, hingga kini UUD kita masih mengatur presiden adalah pemegang kekuasaan tertinggi atas ketiga angkatan perang. Tidak seperti Pak Nash, Pak Gatot masih sehat walafiat, bahkan sedang jadi trending topic, dan tentu saja tidak menderita paranoid schizophrenia. Awas, lho! Jangan coba-coba ada yang menyangka pernyataan soal impor 5.000 senjata itu sebagai paranoid. Itu benar. Dasarnya adalah informasi intelijen yang valid. Yaaah, paling hanya salah sedikit, yaitu soal jumlah yang cuma kelebihan satu "nol" dan soal Pindad yang ternyata bukan perusahaan luar negeri. Kita harus maklum itu, Pak Nurmantyo bukan ahli matematika seperti Pak John Nash.
Lantas mengapa ketika membaca ulasan Pak Ronald soal Data Scientist dan Big Data, wajah Pak John Nash dan Pak Gatot Nurmantyo sama-sama muncul di benak saya? Itulah yang hendak saya cari tahu. Mari sama-sama kita bedah isi kepala saya yang mencurigakan ini. FYI, saya hanya sedang menduga-duga ini, belum bisa memastikan.
Baiklah. Mungkin begini...
Ketika membaca ulasan Pak Ronald Wan, pemahaman yang muncul di benak saya adalah big data bermanfaat --salah satunya--- untuk menemukan pola perilaku dari subjek/objek. Pak Ronald mengulas, sistem pengolahan big data mengumpulkan jejak-jejak digital kita lalu menyimpulkannya sebagai sebuah pola. Oh, kalau si anu ini sukanya gadget terbaru, soalnya setiap berselancar di internet pasti dia sempat searching keyword "hp paling keren paling ok tetapi murah meriah." Oh, si B ini seorang Arjuna aka Don Juan aka Cazablanca aka buaya darat soalnya begitu online laman pertama yang dikunjunginya adalah nikahsirri.com.
Terus apa gunanya memahami pola? Ya kalau di dunia internet, sebagaimana yang dicontohkan Pak Ronald, pola itu penting bagi perusahaan pencari untung di internet untuk membidik sasaran pemasarannya. Tetapi sebenarnya memahami pola adalah tugas utama ilmu pengetahuan. Menemukan pola adalah aspek dasar dari mengenalisir apapun objek studi, landasan menarik prinsip, hukum, dan teori. Tanpa paham pola, kita tidak bisa meramalkan masa depan, bukan? Kan masa depan bisa diramalkan berdasarkan pola (pengulangan berulang) yang terjadi di masa lampau dan masa kini. Iya, tidak?
Okay, lupakan yang di atas. Kita kembali ke hubungan data dan sekelebat bayangan wajah Pak John Nash dulu. Kalau Anda menyimak filem The Beautifull Mind, ada tentu ingat adegan --beberapa kali---Pak John Nash memperhatikan secara serius merpati di halaman kampusnya. Pak John yakin gerakan merpati-merpati itu ada polanya, ada algoritmanya. "I'm hoping to extract to algorithm to define the movement," kata Pak John Nash.
Banyak orang sepertinya percaya jika peristiwa-peristiwa sosial, terutama sosial-politik juga punya algoritmanya. Pada zaman Soeharto-Orba dulu ada yang disebut sebagai strategi pengalihan isu. Rakyat, setidaknya kalangan aktivis dan kaum cerdik pandai saat itu yakin, kerusuhan-kerusuhan yang terjadi hanyalah strageti pengalihan isu oleh Soeharto-Orba terhadap skandal-skandal yang sedang jadi sorotan publik. Keyakinan itu didasarkan pada pengamatan atas runtutan kejadian berulang (pola) saat itu, algoritmanya.
Nah, mungkin otak saya juga ikut terjangkit kecurigaan ini. Mungkin otak saya secara otomatis menduga ada benang merah antara kejadian-kejadian: tuntutan pembubaran FPI (yang konon kelahirannya turut dibidani sejumlah elit nonsipil); serangan kelompok pro-demokrasi di LBH Jakarta; pemutaran kembali film G-30S; pernyataan Pak Nurmantyo soal import senjata illegal; Tutut anak Soeharto tiba-tiba bagi beasiswa, operasi katarak, dan sembako kepada 3.000an penduduk Timor; Tommy anak Soeharto tiba-tiba bicara soal sejarah 1965; Setya Novanto Ketua Golkar hendak diperiksa korup dan tiba-tiba menderita banyak penyakit; dan Pemilu 2019 yang sudah dekat sementara elektabilitas survey Jokowi kian tinggi saja. Mungkin otak saya menduga semua peristiwa itu, seperti halnya zaman dulu, ada pola-nya.
Mungkin.