“Kita?”
“Ya, kita. Sepulang itu beta akan melamarmu, Lince. Kita menikah.” Itulah mantra pamungkas, dilayangkan sepaket dengan kecupan mendarat lembut di keningnya.
Hikmad senandung Kidung Agung mengalun dari rumah tetangga menyadarkannya dari lamunan. Ini Adventus, pekan-pekan menanti kelahiran Sang Juru Selamat. Orang-orang bergembira tetapi Marlince tenggelam dalam biru cemas dan rindu. Ini sudah Natal kedua sejak kepergian Susilo. Jika sesuai janji, bisa jadi tahun ini ia sudah tiba dan mereka segera menikah.
Setahun kemarin, di kala Adventus juga, kabar dari Susilo tiba, sebuah surat yang membekapnya dalam cemas. Surat itu Susilo titipkan pada mantan teman sekolah Marlince yang sudah habis kontrak sebagai asisten rumah tangga di Malaysia.
“Marlince, sayang. Hidup di perantuan tidak selalu indah. Hanya sebagian yang beruntung bisa bekerja dengan upah layak. Sebagian tak. Beta dan beberapa kawan termasuk yang terakhir. Ketika tiba di perkebunan, kami langsung di antara ke asrama di tengah hutan Sawit. Esoknya mandor datang memberitahu apa yang harus kami kerjakan. Sebulan bekerja tak ada panggilan menerima upah, demikian pula bulan selanjutnya. Pada bulan ketiga, kami bertanya pada majikan yang kebetulan datang meninjau.
“Toke, bagaimana dengan kami punya upah. Sudah tiga bulan ini kami tidak pegang uang.”
“Haah, kalian harus kerja dulu 6 bulan supaya uang kepala lunas. Waktu kalian tiba, saya bayar komisi ke calo. Perjanjiannya kalian ganti dengan 6 bulan kerja. Bulan ketujuh baru kalian terima upah,” jawab toke mengejutkan kami.
Kami masih bertahan sebulan lagi sebelum kemudian semalam tadi memutuskan melarikan diri dari perkebunan, meninggalkan passport dan dokumen-dokumen lain di tangan toke. Besok, beta dan kawan-kawan sudah berstatus TKI illegal.
Kami sonde tahu bagaimana nasip di dalam pelarian besok. Kami akan singgahi perkebunan lain, mencari kerja serabutan untuk mengumpulkan uang agar bisa pulang ke kampung. Beta sonde tahu kapan akan berhasil kembali bertemu lu, Marlince. Maka kalau lu sonde tahan menanti, kalau ada pemuda yang suka lu, terima saja, Marlince. Beta iklas.
Peluk dan cium dari tengah hutan Sawit. Tuhan berkati.Susilo”
***