“Ahok itu pilihan kelas menengah,” kata teman lama saya dalam percakapan santai di kedai kopi.
“Mengapa begitu?”
“Ya, iyalah. Karakter utama kebijakan-kebijakannya adalah kota yang tertib, teratur, dan taman-taman yang indah. Lihat saja dukungan mereka atas rumah-rumah susun seragam yang tumbuh ke atas, sudah pasti itu lahir dari jiwa individualistis mereka. Rumah-rumah kaku yang memisah-tegaskan mereka dari tetangga, membentengi kehidupan pribadi mereka dari kepo orang-orang sekitar.” Ia menjelaskan berapi-api, sepertinya sangat piawai dalam soal watak kelas.
“Terus, apakah yang indah, tertib, bebas banjir dan layak huni itu bukan juga kebutuhan kelas bawah?” saya bertanya lugu sebab sungguh belum paham.
Tanpa kesepakatan terlebih dahulu, kami menggolongkan rakyat miskin, buruh-buruh berupah rendah, para pekerja kerah biru, pedagang-pedagang kecil dan pekerja informal sebagai kelas bawah. Golongan sosial inilah yang kami sebut sebagai rakyat.
Sementara para pekerja kerah putih, mereka yang juga menenggelamkan diri di dalam perbudakan upah namun bergaji berkali lipat di atas UMP; mereka yang menjalani rutinitas berburu waktu tiba kantor tanpa kuatir kerah baju menghitam oleh keringat bercampur daki; dan mereka yang mampu meng-kapitalisasi bakat dan pengetahuannya menjadi artisan modern berpendapatan tinggi; yang hidupnya dikelilingi beragam gawai paling up to date adalah kelas menengah.
Di ujung atas adalah elit, baik yang hidup menikmati rente dari pengaruh politiknya, pun yang menguasai kapital dan sumber-sumber daya produksi dan finansial sehingga meski sedang tidur pun tidak perlu cemas akan kesehatan ekonomi rumah tangga mereka.
“Rakyat belum peduli dengan semua kenyamanan itu. Rakyat butuh jaminan tempat tinggal tanpa harus digusur sana-sini. Rakyat butuh pekerjaan berupah layak, agar setelah melunasi utang-utang di warung, masih tersisa seribu duaribu untuk ditabung. Rakyat butuh pemukiman yang cocok kultur mereka, budaya kolektif yang tumbuh dari lingkungan kerja mereka.”Ia kembali menjelaskan.
saya pikir ia benar soal perbedaan kultur antar kelas sosial ini. Sejatinya kelas sosial itu muncul di dalam corak produksi sosial, sebagai orgAniesasi masyarakat di dalam menghasilkan beragam kebutuhannya. Setiap corak atau moda produksi menempatkan grup sosial yang berbeda dalam relasi dengan alat produksi dan dalam relasi antar grup itu. Relasi yang berbeda, dan cenderung selalu bertentangan inilah yang melahirkan kelas-kelas sosial itu. Pada gilirannya, relasi kelas sosial dengan alat produksi ini turut membentuk kultur khas dari masing-masing kelas.
Buruh hanya bisa memproduksi sesuatu jika bekerja bersama-sama. Sebuah kancut hadir ke dunia karena campur tangan banyak tangan. Ada yang menggambar pola, ada yang memotong menjadi pecahan bagian-bagian, ada yang menjahit untuk menyatukannya, ada yang memeriksa cacat celah, ada yang mengemasnya. Kerja bersama ini turut membentuk watak kolektif mereka, watak yang terbawa di dalam kehidupan sehari-hari.
“Jadi menurut lu kelas menengah cenderung memilih Ahok sementara rakyat akan memilih Anies atau AHY?” saya ulang bertanya.
“Kemungkinan besar begitu. Citra utama pemerintahan dan kebijakan Ahok adalah efisien, modern, dan individualistis. Itu pula ideal kelas menengah. Iman mereka.”
saya sebenarnya agak ragu jika karakter kelas secara otomatis ditarik dari watak kerja dalam produksi. Pada zaman dulu mungkin begitu, sebab produksi dipisahkan secara tegas dengan distribusi hingga konsumsi. Di masa kini, produksi adalah satu tarikan proses sejak perancangan, pembuatan, pemasaran, hingga konsumsi. Perusahan yang membuat telepon genggam akan juga memikirkan cara agar barangnya diperebutkan pasar. Segunung dana dibelanjakan pada iklan agar orang-orang percaya, membeli produk itu akan berarti sesuatu bagi hidup mereka.
Maka nilai-nilai, gaya hidup, kultur, kini adalah artifisial, adalah rekaan industri. Kultur tidak serta-merta lahir dari relasi produksi yang jadi bangun bawahnya. Ia menjadi kesadaran cangkokan, menjadi laku seragam yang dipasok oleh industri lewat intensnya tayangan digital pada layar-layar gawai. Entah kelas menengah, entah rakyat, tiada bebas dari projek rekayasa kultur baru.
Kongkow-kongkow, bersosialisasi sambil memamerkan gadget terbaru adalah keutamaan. Belum pernah ngopi di sebuah kedai kopi yang ramai oleh orang-orang di pojok jalan sana adalah kedunguan. Maka bukankah kelas menengah kini yang paling doyan hidup bersosial? Bahkan selepas ngobrol ke sana ke mari, setiba di rumah pun kelas menengah masih terhubung sosial melalui berbagai aplikasi digital.
Sebaliknya, lihatlah buruh-buruh itu. Seusai lelah kerja, mereka hanya sempat menatap sekejab layar tv untuk kemudian segera mendengkur pulas, menyimpan tenaga untuk esok yang rutin dan melelahkan. Bersanggama pun mungkin hanya sekadarnya saja, tanpa foreplay yang mesra dan memabukkan, sebab pulas menjadi sangat mahal.
Atau lihat juga para pekerja informal itu. Ketika kelas menengah sudah mencampakkan beban kerja ke dalam tas ransel dan larut dalam senda gurai di cafe, para pekerja informal masih saja berburu satu dua lembar rupiah. Apakah bersosialisasi dengan tetangga sungguh-sungguh kebutuhan rakyat? Adakah tenaga dan waktu tersisa untuk itu? Bukankah rumah mereka kini sekedar terminal untuk makan, bersanggama, dan tidur?
Bukankah justru rakyat yang paling butuh taman-taman kota dan kanal-kanal berair bersih sebab hanya itulah hiburan yang tersisa secara gratis untuk melarikan diri sejenak dari padat-pengapnya kota?
Lalu, cobalah berpaling pada kelas menengah. Bukankah kelompok sosial ini paling rentan dengan fundamentalisme? Bukankah mereka paling takjub pada simbol-simbol dan ritual-ritual formal keagamaan? Tidakkah ekspresi politik mereka sepanjang sejarah cendrung dikaitkan dengan keyakinan religius mereka? Cobalah berkaca pada sejarah, dahulu pada siapa kelas menengah melabuhkan aspirasi politik mereka, pada PNI, PKI, NU, atau Masyumi? Maka tidakkah sekarang pun akan demikian, bahwa kelas menengah akan mencoret Ahok dari peluang preferensi mereka sebab ia berasal dari kelompok pelaku cara sembahyang yang berbeda?
“Hmm, hei! Mengapa diam? Lu sepakat cara pandang gue?” Ia mengagetkan saya.
“Ehh, yang mana?”
“Yaelah. Soal Ahok itu representasi kelas menengah.”
“Ahok bukannya bagian dari elit politik, kelas atas yang menikmati rente ekonomi?”
“Bukan itu. Maksudnya soal rakyat akan memilih AHY dan Anies, sementara Kelas Menengah akan memilih Ahok.” Ia mulai sedikit kesal.
“Entahlah. Bisa terbalik.”
“Mengapa begitu?” dahinya berkerut-kerut, bingung dan kesal karena tak serta-merta saya benarkan pendapatnya.
“Yah, tergantung kelas menengahnya. Jika belum bebas dari kutukan prasangka purba mereka pada politik berbasis identitas kultur, agama itu kultur, mereka tidak akan memilih Ahok.”
“Terus, kalau rakyat bagaimana?”
“Itu juga entah. Kalau saya rakyat DKI, saya akan terus perjuangkan agar Ahok menggunakan pendekatan partisipatif, mengajak rakyat terlibat di dalam perencanaan dan eksekusi pembangunan. Ahok tidak demikian selama ini. Sebaliknya, saya tak punya pendasaran untuk mempercayakan Jakarta lebih baik pada Anies atau AHY.”
“Jadi lu pilih Ahok?
“Tidak.
“Anies atau AHY?
“Apalagi itu. Tidak keduanya.”
“Oh, payah, lu golput ya.
“Tidak
“Heh, lalu?
“Saya warga Kota Kupang, bukan DKI.”
Published juga di blog pribadi Coffee4Soul.club
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H