“Ahok bukannya bagian dari elit politik, kelas atas yang menikmati rente ekonomi?”
“Bukan itu. Maksudnya soal rakyat akan memilih AHY dan Anies, sementara Kelas Menengah akan memilih Ahok.” Ia mulai sedikit kesal.
“Entahlah. Bisa terbalik.”
“Mengapa begitu?” dahinya berkerut-kerut, bingung dan kesal karena tak serta-merta saya benarkan pendapatnya.
“Yah, tergantung kelas menengahnya. Jika belum bebas dari kutukan prasangka purba mereka pada politik berbasis identitas kultur, agama itu kultur, mereka tidak akan memilih Ahok.”
“Terus, kalau rakyat bagaimana?”
“Itu juga entah. Kalau saya rakyat DKI, saya akan terus perjuangkan agar Ahok menggunakan pendekatan partisipatif, mengajak rakyat terlibat di dalam perencanaan dan eksekusi pembangunan. Ahok tidak demikian selama ini. Sebaliknya, saya tak punya pendasaran untuk mempercayakan Jakarta lebih baik pada Anies atau AHY.”
“Jadi lu pilih Ahok?
“Tidak.
“Anies atau AHY?
“Apalagi itu. Tidak keduanya.”
“Oh, payah, lu golput ya.
“Tidak
“Heh, lalu?
“Saya warga Kota Kupang, bukan DKI.”
Published juga di blog pribadi Coffee4Soul.club
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H