“Kemungkinan besar begitu. Citra utama pemerintahan dan kebijakan Ahok adalah efisien, modern, dan individualistis. Itu pula ideal kelas menengah. Iman mereka.”
saya sebenarnya agak ragu jika karakter kelas secara otomatis ditarik dari watak kerja dalam produksi. Pada zaman dulu mungkin begitu, sebab produksi dipisahkan secara tegas dengan distribusi hingga konsumsi. Di masa kini, produksi adalah satu tarikan proses sejak perancangan, pembuatan, pemasaran, hingga konsumsi. Perusahan yang membuat telepon genggam akan juga memikirkan cara agar barangnya diperebutkan pasar. Segunung dana dibelanjakan pada iklan agar orang-orang percaya, membeli produk itu akan berarti sesuatu bagi hidup mereka.
Maka nilai-nilai, gaya hidup, kultur, kini adalah artifisial, adalah rekaan industri. Kultur tidak serta-merta lahir dari relasi produksi yang jadi bangun bawahnya. Ia menjadi kesadaran cangkokan, menjadi laku seragam yang dipasok oleh industri lewat intensnya tayangan digital pada layar-layar gawai. Entah kelas menengah, entah rakyat, tiada bebas dari projek rekayasa kultur baru.
Kongkow-kongkow, bersosialisasi sambil memamerkan gadget terbaru adalah keutamaan. Belum pernah ngopi di sebuah kedai kopi yang ramai oleh orang-orang di pojok jalan sana adalah kedunguan. Maka bukankah kelas menengah kini yang paling doyan hidup bersosial? Bahkan selepas ngobrol ke sana ke mari, setiba di rumah pun kelas menengah masih terhubung sosial melalui berbagai aplikasi digital.
Sebaliknya, lihatlah buruh-buruh itu. Seusai lelah kerja, mereka hanya sempat menatap sekejab layar tv untuk kemudian segera mendengkur pulas, menyimpan tenaga untuk esok yang rutin dan melelahkan. Bersanggama pun mungkin hanya sekadarnya saja, tanpa foreplay yang mesra dan memabukkan, sebab pulas menjadi sangat mahal.
Atau lihat juga para pekerja informal itu. Ketika kelas menengah sudah mencampakkan beban kerja ke dalam tas ransel dan larut dalam senda gurai di cafe, para pekerja informal masih saja berburu satu dua lembar rupiah. Apakah bersosialisasi dengan tetangga sungguh-sungguh kebutuhan rakyat? Adakah tenaga dan waktu tersisa untuk itu? Bukankah rumah mereka kini sekedar terminal untuk makan, bersanggama, dan tidur?
Bukankah justru rakyat yang paling butuh taman-taman kota dan kanal-kanal berair bersih sebab hanya itulah hiburan yang tersisa secara gratis untuk melarikan diri sejenak dari padat-pengapnya kota?
Lalu, cobalah berpaling pada kelas menengah. Bukankah kelompok sosial ini paling rentan dengan fundamentalisme? Bukankah mereka paling takjub pada simbol-simbol dan ritual-ritual formal keagamaan? Tidakkah ekspresi politik mereka sepanjang sejarah cendrung dikaitkan dengan keyakinan religius mereka? Cobalah berkaca pada sejarah, dahulu pada siapa kelas menengah melabuhkan aspirasi politik mereka, pada PNI, PKI, NU, atau Masyumi? Maka tidakkah sekarang pun akan demikian, bahwa kelas menengah akan mencoret Ahok dari peluang preferensi mereka sebab ia berasal dari kelompok pelaku cara sembahyang yang berbeda?
“Hmm, hei! Mengapa diam? Lu sepakat cara pandang gue?” Ia mengagetkan saya.
“Ehh, yang mana?”
“Yaelah. Soal Ahok itu representasi kelas menengah.”