Mohon tunggu...
George
George Mohon Tunggu... Konsultan - https://omgege.com/

https://omgege.com/

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Berbangsa Itu Laksana Menikah

4 Februari 2017   21:56 Diperbarui: 4 Februari 2017   22:50 354
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Lihat, bukankah begitu pula kehidupan berbangsa itu? Berbagai macam etnis, beragam agama, berbeda-beda, bahkan sering bertentangan nilai dan kebiasaannya.  Tetapi ketika yang berbagai-bagai, berbeda-beda, dan bertentang-tentangan ini bersatu sebagai sebuah bangsa, mau tidak mau mereka harus saling memahami.

Memahami bukan di dalam makna mengetahui mengapa etnis A kebiasaannya begini, mengapa agama B kepercayaan dan tata perayaan agamanya begitu. Memahami di dalam makna menerima kenyataan bahwa memang sudah demikianlah suku C atau agama D seharusnya berperilaku dan menjalankan keyakinannya. Memahami di dalam makna menerima dengan lapang dada bahwa hidup bertetangga dengan mereka yang berbeda karakter, nilai-nilai, kebiasaan-kebiasaan adalah hal yang alamiah. Suka atau tidak suka, kita telah menjadi saudara sebangsa, maka terimalah perbedaan-perbedaan itu.

Di dalam sebuah pernikahan, suami atau istri tidak lagi menjadi dirinya sebagaimana ketika masih sendiri. Ketika bujang, seorang lelaki mungkin gemar membelanjakan malam dengan berkumpul bersama kawan-kawan dan pulang ketika matahari terjaga. Demikian pula seorang perempuan mungkin saja dahulu super gaul, memiliki banyak kawan, sebagian besar lelaki, kerap bepergian bersama kawan-kawannya tersebut. Ketika telah menikah, kesenangan-kesenangan masa muda itu tidak pantas lagi dilakukan.

Demikian pula dalam berbangsa, ada hal-hal yang perlu kita kekang demi kebersamaan . Kita mungkin perlu menyampaikan kepada rekan se-iman tentang kebenaran-kebenaran ajaran agama kita dan mengeritik apa yang ‘salah’ dari ajaran agama lain, mengingatkan saudara-saudara se-iman agar tidak ‘terjerumus’ pada ‘kesalahan’ seperti itu. Demikian kebenaran subjektif yang kita yakini. Tetapi kita perlu mengekang diri agar tidak membicarakannya ketika sedang mencumbu microphone dan pengeras suara menerbangkan suara kita keras dan jauh hingga menyusup ke kamar tidur saudara sebangsa yang berbeda agama dan sedang kita kritik.

Ya, penerimaan pada perbedaan dan pengekangan diri untuk tidak selalu melaksanakan dan mendapatkan apa yang kita inginkan. Begitulah hidup berumah tangga, demikian pula hidup berbangsa.

Tentu saja ada hal-hal prinsip yang tidak bisa kita kompromikan. Istri tidak mungkin mentolerir kencendrungan play boy si suami. Mustahil seorang istri tiba-tiba berkata, “Papa sayang, sepertinya si cantik pedagang bakso di ujung gang itu mau kamu tiduri, lho. Kamu mau sore ini kuantar ke sana?  Kamu tidur deh satu dua shoot dengannya, mama tungguin di ruang tamu sambil baca majalah.” Demikian pula tidak mungkin seorang suami permisif pada kegemaran masa gadis istrinya, bermalam minggu di pub dalam balutan pakaian yang mempertontonkan pusar, mengantar istrinya ke sana lalu pulang membacakan anak mereka dongeng pengantar tidur sambil menunggu fajar untuk membukakan pintu bagi istri yang datang dengan aroma alkohol.

Demikian pula di dalam hidup berbangsa. Ada hal-hal yang patut dikompromikan, ada hal-hal yang harus tegas ditegakkan. Semuanya demi keberlangsungan bahtera rumah tangga bangsa. Bagaimana membedakannya? Gunakan nalar dan nurani kita. Tuhan melengkapi diri kita dengan itu bukan untuk dianggur.

***
Tilaria Padika
Timor, 04/02/2017
Baca: LALONG KADES
Arsip: PUISI Padika | CERPEN Padika | CATATAN Padika

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun