Mohon tunggu...
George
George Mohon Tunggu... Konsultan - https://omgege.com/

https://omgege.com/

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Nyatalah, Post-Power Syndrome Itu Mengerikan

2 Februari 2017   14:12 Diperbarui: 2 Februari 2017   16:55 2490
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sudah lama orang bicara tentang post-power syndrome, gejala psikologis yang dialami mantan orang-orang berkuasa, tapi baru kali ini beta bisa sungguh-sungguh menyaksikan wujudnya yang telanjang dan mencolok.

Beberapa bulan terakhir, khalayak disodori tontonan memalukan sekaligus memilukan. Seorang mantan tokoh paling berkuasa tanpa malu-malu menunjukkan hasrat untuk tetap dipandang penting. Ia membuat sindrom ini begitu mengerikan. Sebagai seorang terpelajar, bekas penguasa ini tentulah paham benar akan ancaman post power syndrom begitu ia lengser dari jabatan. Pastilah ia sudah mengantisipasi ini. Tetapi melihat bahwa ia seperti tanpa kuasa menyembunyikan hasrat dan kegalauannya, sungguh beta bergidik ngeri, sekaligus bersyukur bahwa beta adalah orang biasa. Tidak terbayangkan betapa malunya jika beta seorang berkuasa dan ketika kehilangan kekuasaan itu tidak bisa mengontrol gejala post-power syndrome seperti sang Tokoh.

Lihatlah, bagaimana tokoh kita tidak kuasa samarkan galau ketika melihat penggantinya berkunjung ke tokoh lain untuk membahas penyelesaian masalah negeri. “Mengapa bukan diriku yang ia temui? Apakah ia lupa? Apakah ia menganggap aku tidak mau dijumpainya?” menderu-deru pertanyaan pada benak Si Mantan, bergelora rasa kesalnya oleh pahit cemburu. Tanpa pikir panjang ia menggelar konferensi pers, mengirimkan sinyal kuat bahwa ia bukan saja tidak menolak diajak ngobrol tentang problem bangsa, tetapi menghendakinya lebih dari apapun. Ia kesal saat orang lain yang ditemui penggantinya dan ia belum juga mendapat kabar jika akan dijumpai. Dari alam bawah sadarnya, keluarlah istilah itu, istilah yang menyinggung hewan ikonik pada pertemuan termaksud.

Orang-orang mem-bully-nya, mencemooh, mengkritik, menghujat. Tetapi Tokoh kita tak geming. Gelora hasrat untuk tetap dianggap penting telah mengendalikan dirinya, mengontrol nalar, rasa, dan mungkin seluruh syaraf dan sistem pencernaannya. Ia belum bisa tenang sebelum ketokohannya diakui.

Sekali lagi ia mengirim pesan, bahwa ia sangat ingin bertemu penggantinya untuk membicarakan semua hal. Bahwa ia bisa memberi saran langkah-langkah bijak untuk mengatasi problem bangsa yang kian karut-marut. Tidak lupa ia menggarisbawahi agar orang-orang tidak lupa, jika ia satu di antara tiga tokoh bijak yang diangkat oleh negara-negara yang tergabung di dalam sebuah persekutuan berbasis identitas. Dalamnya rasa cemburu telah membuatnya melontarkan amarah membabi-buta, menuduh pasti ada saja orang-orang pendengki yang menghalangi penggantinya untuk bertemu dirinya. “Tidak mungkin penggantiku menganggap aku angin lalu. Aku yang sepenting ini. Aku yang diakui segala bangsa sebagai orang bijak, tidak mungkin diabaikan oleh penggantiku sendiri, seorang sipil yang cuma bekas pengrajin meja-kursi-almari-dipan itu. Pasti ada cecunguk-cecunguk membisikkan sesuatu yang keliru.”

Foto: Romi Hidayat/KFK.Kompas.com
Foto: Romi Hidayat/KFK.Kompas.com
Ah, beta teringat lagi pada Si Mantri Pasar di Novel Kuntowijoyo itu. Betapa mirip keduanya. Hebat benar, Kutowijoyo itu. Ia bisa menciptakan tokoh fiksi sama persis dengan tokoh nyata justru ketika si tokoh nyata belum muncul di panggung politik. Ckckckck...bukan main!

Ketika banyak orang kesal dengan kelakuan si Tokoh kita ini, jauh di dalam hati kecil beta justru terbit rasa iba. Di usia demikian, ketika ia seharusnya menikmati hari tua dengan penuh penghormatan sebagai sepuh bangsa, kelakuannya justru menjerembabkannya pada nista cemooh orang-orang. Sungguh tega orang-orang dekatnya membiarkan kondisi memalukan ini menimpa dirinya. Tidak adakah seorang saja yang tulus mencintainya berbisik, “Bapak, cukup sudah. Tindakan Bapak memalukan dan merugikan Bapak sendiri? Apakah selama ini ia hanya memelihara barisan pengecut yang hanya ingin mengharapkan senyum dan pujian darinya tanpa peduli kehancuran pelan-pelan menggerogoti dirinya?

Hih, sungguh mengerikan post-power syndrome itu.

***
Tilaria Padika
Timor, 02/02/2017
Baca: LALONG KADES
Arsip: PUISI Padika | CERPEN Padika | CATATAN Padika

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun