Anjuran Menteri Enggartiasto agar masyarakat menanam cabai di pekarangan rumah itu bagus. Selain dapat meningkatkan ketahanan pangan, juga menghemat belanja rumah tangga.
Di Kabupaten Kupang sudah sejak lama bupatinya menganjurkan warga mengganti tanaman hias dengan tanaman pangan di pekarangan. Di Wellington New Zealand, terdapat banyak community garden, komunitas yang mengolah kebun bersama, baik pada lahan tidur milik pemerintah, pun milik privat yang dipinjamkan sementara waktu. Saya sendiri pernah terlibat memberikan assessment kepada sebuah proyek LSM di pedalaman Kupang agar rumah tangga masyarakat membentuk kolektif yang mengelola kebun sayur pekarangan sebagai langkah meningkatkan ketahanan pangan dan memperbaiki gizi keluarga. Program tersebut tampaknya berjalan dengan baik.
Sekali lagi, memanfaatkan pekarangan untuk subsisten bumbu dapur –-apalagi ditambah sayur-mayur— adalah baik adanya. Hanya saja, anjuran tersebut tidak lantas membuat Menteri Enggartiasto bebas dari kewajibannya. Sebagai menteri perdagangan, ia memiliki salah satu kewajiban memperbaiki tata niaga pangan, termasuk perdagangan cabai.
Jikapun anjuran Menteri Enggiartiasto mendapat respons positif masyarakat, diikuti dengan tindakan nyata menanam cabai, tidak lantas urusan kelangkaan cabai yang berdampak kenaikan harganya tuntas begitu saja. Mendorong masyarakat untuk subsisten tidak berarti meniadakan peran penting pasar. Menteri Enggartiasto pasti tahu jika pasar tercipta oleh karena terdapat perbedaan sumber daya (alam, modal, waktu, dll) antara daerah satu dengan daerah yang lain, antara rumah tangga, antara individu. Perbedaan sumber daya melahirkan keunggulan komparatif dan kompetitif, yang selanjutnya mendorong individu/rumah tangga berkalkulasi, membuat pilihan-pilihan, dan memutuskan. Dengan begitu banyak kebutuhan dan beragam kondisi sumber daya, tidak mungkin rumah tangga menghasilkan segalanya subsisten. Pilihan harus dibuat, termasuk pilihan memanfaatkan pekarangan dan waktu luang.
Urusan cabai memang urusan pelik. Seperti halnya tomat dan sayur-mayur, tanaman dan buah cabai mudah busuk di musim hujan. Busuk di petani, busuk pula dalam jalur distribusi. Konsekuensinya harga meningkat tajam, baik karena kekurangan pasokan, juga karena pedagang membebankan kerugian kebusukan kepada konsumen.
Upaya mengirim cabai dari kantong-kantong produksi ke pasar di kota-kota pemakan cabai juga bukan perkara mudah. Cabai, sebagaimana produk pertanian umumnya punya karakteristik bulky. Butuh volume pengiriman besar untuk nilai atau harga yang setara paket kecil barang pabrik. Ini menyebabkan pengiriman cabai via penerbangan yang dapat mempersingkat waktu distribusi bukanlah pilihan rasional. Sementara pengiriman laut —yang hingga kini masih menjadi jalur distribusi termurah— butuh waktu cukup panjang.
Tentu hal di atas tantangan besar.
Tetapi tidak elok juga jika Menteri Enggartiasto mengambil sikap berputus asa dan seolah lepas tangan begitu saja. Meski cabai bukan pangan pokok, dan berhenti makan cabai sebulan tidak lantas membuat orang kurang gizi, toh tetap saja cabai adalah kegemaran masyarakat. Mengganggap enteng keresahan orang-orang yang tak berselera makan tanpa ber-hashus dengan cabai tampaknya kurang bijak.
Menteri Enggartiasto bukan satu-satunya menteri yang berhadapan dengan tantangan selera rakyat yang tidak peduli kondisi. Hal serupa pernah dihadapi Che Guevara waktu menjadi menteri perindustrian Kuba setelah Revolusi.
Orang-orang Kuba doyan jus jeruk. Ketika revolusi meletus dan pemerintahan revolusioner berkuasa, negara-negara imperialis memboikot perdagangan Kuba. Dampaknya masyarakat Kuba berhadapan dengan kelangkaan barang-barang, termasuk jus jeruk. Produksi nasional terbatas, tetapi permintaan domestik tidak berkurang. Hebatnya, Che Guevara dengan sabar dapat mengajak rakyat memahami kondisi tetapi juga meletakkan landasan bagi pembangunan industri pertanian Kuba yang berkemajuan, tentu saja dalam pengelolaan kolektif rakyat.
Hasilnya, kini Kuba menjadi tiga besar Negara penghasil produk Citrus dunia.
Nah, Pak Menteri Enggartiasto ingin jadi seperti Che Guvara? Mau resep-resepnya? Saya kasih bocoran satu hal prinsip saja ya: mengabdi kepada kepentingan nasional dan kepentingan rakyat. Selebihnya mungkin bisa orang-orang kementerian cari sendiri rahasianya. Saya sedang sibuk menanam cabai. Peace. (TP)
***
Tilaria Padika
Timor, 10/01/2016
Dibaca donk: Yang Objektif dan yang subjektif
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H