Sejak munculnya kontroversi tentang DIY yang dipicu oleh pernyataan Presiden SBY dalam sidang kabinet maka hiruk pikuk tentang Yogya telah berlangsung dengan marak. Mungkin tujuan dari golongan yang membuat isu ini telah tercapai. Berikut catatan yang bisa kita perhatikan :
1. Mungkin maksud Parati Demokrat bagus dan mulia. Ingin mendudukkan kedudukan sultan pada tempat yang semestinya dan semulia-mulianya. Namun apa yang dirasa warga Yogya adalah semacam penghianatan terhadap sejarah Republik berkaitan dengan Yogya.
2. Pengintegrasian wilayah Keraton Yogya dan Pakualam dengan wilayah RI bukan penyerahan kekuasaan (lihat dekrit atau maklumat sri Sultan HB IX).
3.Pada zaman perang kemerdekaan bukanlah Keraton Yogya yang butuh Indonesia tetapi Indonesialah yang butuh Yogyakarta. Hutang budi ini tak mungkin terbayar sampai kapanpun.
4. Keistimewaan NAD dan Papua dibayar dengan keringat, darah dan air mata yang luar biasa tetapi justru keistimewaan Yogyakarta adalah merupakan sumbangan perjuangan 'kawulo Yogya' kepada RI.
5. Bisa jadi ada niat-niat dibalik pengungkitan isu keistimewaan Yogya ini secara politis, antara lain karena petinggi negara kalah kewibawaan dengan petinggi DIY. Bisa juga karena alasan politis supaya Sultan tidak berpolitik praktis lagi.
6. Mengapa takut referandum ? Sri Sultan dengan arifnya telah menyatakan (menantang ?) referandum rakyat Yogya.
7. Jangan sampai ( apa perlu karena merasa dikhianati) DIY kemudian menarik kembali dekrit penggabungan atau pengintregasian sehingga menjadi negara tersendiri. Sesuatu yang sepertinya tidak mungkin tetapi sebenarnya mungkin saja terjadi, karena kita tidak tahu akan perjalan sejarah ke depan. Jaga keutuhan NKRI sekaligus hormati kemauan rakyat. Kalau sekarang rakyat DIY minta penetapan Sultan sebagai Gubernur, luluskan saja. Pekara kedepannya bagaimana ? Ya biarkan rakyat Yogya yang akan menentukan sendiri juga. Jika kelak pengganti Sultan tidak mumpuni pasti rakyat Yogya juga akan berubah sikap. Yang penting dalam demokrasi yang diwacanakan ini jangan sampai terjadi pemaksaan oleh satu pihak kepada pihak lainnya. Jangan sampai memakai 'aji mumpung'. Mumpung berkuasa misalnya.
Bagaimana pendapat Anda ?????
Salam kompasiana selalu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H