Mohon tunggu...
Tiknan Tasmaun
Tiknan Tasmaun Mohon Tunggu... Administrasi - Praktisi herbal sekaligus blogger

Praktisi herbal yang ingin bermanfaat bagi sesama. Punya website di https://tiknan.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Seksologi dalam Falsafah Punokawan

23 April 2010   00:17 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:38 4379
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam dunia pewayangan Jawa ada yang dinamakan punokawan. Punokawan terdiri dari empat orang. Ki Semar Bodronoyo dan anak-anaknya. Mereka adalah Petruk Kantong Bolong, Gareng dan Bagong.

Dalam pertunjukan wayang purwo alias wayang kulit maka keluarnya puno kawan disebut ‘wayahing goro – goro’. Maksudnya, puno kawan akan keluar setelah adanya ‘goro-goro’ yang disebut oleh ki dalang sebagai zamannya gonjang ganjing dan seterusnya. Sesudah hilangnya zaman goro-goro tersebut maka muncullah sang punokawan.

Dari ‘ngelmu kirotoboso’ yaitu ilmu ‘otak-atik-matuk’-nya orang Jawa maka dari nama-nama punokawan tersebut bisa diartikan dalam berbagai macam. Salah satunya adalah merupakan falsafah seksologi yang dalam khasanah Jawa disebut ‘ajimak-saresmi’. Berikut pemaparannya.

Petruk kalau ‘dikirotoboso’-kan berarti ‘ngempit….ruk’. Maksudnya perempuan menutupi atau menjunjung tinggi ‘mahkota kewanitaannya’. Tidak bakalan di berikan kepada sesiapa selain kepada suaminya. Apalagi kepada ‘bajing loncat’, tidak akan diberi. Wong barang ‘wadi’ (rahasia) namun ‘edi-peni’ kok( berharga ) ya di ‘kempit’, dijaga. Makanya dalam bahasa jawa istri dipanggil dengan sebutan ‘garwo’ bukan hanya bermakna ’sigar tur dowo’ (terbelah dan memanjang) namun lebih berarti ’sigaraning nyowo’ yang artinya bagian dari nyawa suami.

Nah kalau sudah bersuami maka kemudian melakukan ‘ritual ajimak saresmi’ atau dalam bahasa kerennya itu ML, making love alias bersetubuh. Karena kenikmatan bersetubuh itu kemudian timbul ‘erangan’…reng…reng…jadilah disimbolkan tokoh “Gareng”.

Ketika terjadi ritual… reng…reng…ajimak-saresmi atau ber-ml-ria itu terjadi namanya ‘ngobahake bokong’ jadilah nama “Bagong” – ngobahake bokong atau artinya menggoyang pinggul supaya timbul kenikmatan.

Ketika suami istri sudah sampai pada puncaknya dalam mengarungi bahtera permainan cinta itu kemudian keduanya merasa puas atau ‘marem’ dan ‘mesem’ (tersenyum puas) dan timbullah perlambang “Semar”.

Itu adalah sebagian dari penafsiran tokoh punokawan dipandang dari sudut ‘kirotoboso’ nama-namanya. Tentu masih ada lagi penguraian lain lagi dari segi perilaku watak masing-masing. Juga penafsiran berdasarkan ‘falsafah kejawan’ dalam pengertian-pengertian yang lain lagi.

Salam, Tiknan Tasmaun

Wahyu Kamulyan

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun