Tidak seperti kelompok garis keras yang datang dengan memonopoli kebenaran. Dirinya yang paling benar dan orang lain salah belaka. Penjajah Barat pada umumnya masuk ke Timur dengan anggapan bahwa kulit putih adalah ras paling unggul, agama yang dibawanya juga ditempatkan sebagai ‘juru selamat’. Seolah-olah orang kulit berwarna ‘kurang manusia’ dan agama yang dianutnya sebagai ‘gugon-tuhon’. Ini berakibat pemerintah penjajah dibenci dan agamanya dicibir sebagai alat bantu penindasan.
Cara yang ditempuh Zulkarnain ini menyebabkan kedatangannya disambut baik oleh masyarakat setempat dan tidak dianggap sebagai penjajah. Bahkan sering ia menjadi tempat mengadu dari kelaliman yang sudah berlangsung lama di daerah itu. Satu kisa terkait ini ada dalam Quran. Ketika Zulkarnain sampai di tempat daerah timur (mungkin wilayah Cina), dilapori bahwa Ya’juj dan Ma’juj ( orang Jawa menyebut Jumakjujo,pen) menjadi perusak wilayah mereka. Penduduk setempat mengusulkan agar Zulkarnain berkenan membuat tembok pembatas untuk mengisolasi musuh ini. Dan ini betul-betul diperthatikan dengan membangun dinding bercor baja.
Cara pendekatan Zulkarnain adalah karunia Ilahi yang dipaparkan kepada kita sebagai pelajaran. Kendati dia bukan Rasul, (bahkan bukan murid dari salah satu Rasul atau Nabi tetapi murid ahli filsafat Aristoteles,pen) tapi yang dilakukannya merupakan ilham dan petunjuk langsung dari Allah Yang Maha Bijak. Itu pula yang dilakukan oleh Nabi junjungan dan anutan umat Islam, Muhammad saw waktu di Makkah, beliau tidak mengkafir-kafirkan masyarakat, tapi menunjuki jalan. Saat di Madinah –kendati dengan dukungan suku terbesar Khazraj dan Aus- beliau tidak langsung memukul habis pengikut Nasrani dan Yahudi. Tapi dipersaudarakan dulu kaum Muhajirin (imigran) dan Ansor (penduduk penyambut setempat). Sesudah itu diundang para pemimpin agama lain untuk diajak menandatangani pakta perdamaian.
Ini sungguh beda dengan pemandangan umat Islam saat ini : Berdamai dengan sesamanya saja sepertinya tidak bisa, jangankan dengan penganut agama lain. Masing-masing kelompok (hizb) merasa paling benar, sedang lainnya salah belaka, dan karena itu hak keberadaannya ditiadakan. Kadang ada upaya pendekatan (attaqrib), tapi tidak ditunjang, malah menjadi bahan tertawaan. Atau dijadikan alat pemukul waktu berlangsung persaingan, bahwa pendekatan tersebut dianggap sebagai pengkhianatan. Apakah kita terus begini, atau bahkan makin parah ?”( Abdul Wahid Asa, halaman Refleksi, AULA No. 04 Tahun XXXII April 2010 )……..
Ada beberapa hal yang ingin saya diskusikan dari tulisan tersebut diatas, yaitu : NILAI MURNI
Tiap bangsa, bahkan tiap suku bangsa atau tiap kaum mempunyai kearifan lokal tersendiri. Kearifan lokal ini ada yang universal sifatnya dan ada yang memang hanya bersifat relatif sesuai dengan waktu dan kondisi masyarakat setempat.
Sebagian (kalaupun tidak seluruhnya) dari nilai-nilai kearifan lokal adalah merupakan nilai kebenaran yang universal, berlaku dimanapun dan kapanpun. Tentu nilai kearifan lokal yang demikian merupakan nilai murni, nilai kebenaran. Tentu juga merupakan nilai yang diperoleh dari ‘petunjuk Tuhan’ dengan cara-Nya yang tersendiri. Nilai murni yang universal ini, walaupun tumbuh dan berkembang sebagai nilai kearifan lokal, tentu tidak akan bertentangan dengan nilai-nilai Quran maupun Sunah Nabi.
Contoh nilai kearifan lokal di masyarakat Jawa misalnya nilai-nilai dari berbagai ungkapan pitutur yang antara lain berisi tentang ketauhidan ( Gusti Kang Akaryo jagad = Tuhan Pencipta Alam, Gusti Pengeran Kang Tan Kinoyo Ngopo = Tuhan yang tak bisa bisa digambarkan, tak serupa dengan apapun), nilai tentang kemanusiaan ( gotong royong), nilai kebenaran ( dengan ungkapan ‘becik ketitik olo ketoro’ = hal yang benar pasti nampak terbukti begitu juga sebaliknya ). Contoh nilai kearifan lokal lainnya adalah tradisi bersedekah sekaligus syukuran dan silaturahim dengan cara selametan tumpengan, nyadran ataupun sedekah bumi ( tentu acara sedekah, selamatan dan tahlilnya yang bagus, kalau pesta dan hura-huranya lain lagi). Berikutnya nilai lokal Nusantara yang tak susut nilai kebenarannya adalah ‘bineka tunggal eka’ berbeda dalam cara tetapi tetap saling menghargai karena meyakini nilai dan tujuannya tetap sama, satu , eka.
Nah bagaimana dengan pendapat Anda ???
Salam, Tiknan Tasmaun
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H